Ampo Tuban: Warisan Kuliner Tanah Liat yang Lestari di Bulan Ramadan

Ampo Tuban: Warisan Kuliner Tanah Liat yang Lestari di Bulan Ramadan

Di tengah ramainya sajian kuliner modern, sebuah camilan tradisional asal Tuban, Jawa Timur, berhasil mempertahankan eksistensinya, bahkan semakin diminati, terutama saat bulan Ramadan. Ampo, camilan unik berbahan dasar tanah liat yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai stik berwarna hitam kecoklatan, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kuliner Tuban. Keberadaannya bahkan telah melewati zaman penjajahan hingga masa paceklik, menjadi bukti daya tahan dan adaptasi kuliner lokal terhadap perubahan zaman.

Generasi penerus tradisi pembuatan ampo, Rasimah (72), warga Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Tuban, terus menjaga resep dan teknik pembuatan ampo turun-temurun. Keahliannya dalam mengolah tanah liat menjadi camilan gurih ini telah diwariskan secara turun-temurun dari orang tuanya. Sejak kecil, Rasimah telah diajak berjualan ampo di pasar, sehingga ia memahami seluk-beluk proses produksi, pemasaran, hingga nilai budaya yang melekat pada camilan ini. Setiap harinya, dengan tangan-tangan yang tak lagi muda, ia mampu memproduksi ampo hingga 10 kilogram.

Lebih dari sekadar camilan, ampo bagi masyarakat Tuban memiliki nilai historis dan kultural yang signifikan. Dahulu, ampo bukan hanya sebagai makanan pengganti ketika bahan makanan pokok sulit didapat, tetapi juga dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan pencernaan dan mengatasi gatal-gatal. Tradisi ini masih bertahan hingga kini, di mana ampo juga digunakan sebagai sesaji dalam upacara adat dan ritual keagamaan. Kehadiran ampo dalam berbagai acara budaya Jawa, seperti sedekah bumi dan selamatan panen, semakin memperkuat posisinya sebagai warisan budaya yang berharga.

Di bulan Ramadan, permintaan ampo meningkat. Rasimah menjelaskan bahwa ampo yang memiliki rasa gurih dan aroma khas tanah liat ini sangat cocok dinikmati bersama kopi, baik saat berbuka puasa, setelah salat Tarawih, maupun menjelang sahur. Meskipun demikian, Rasimah mengakui bahwa penjualan ampo tahun ini relatif lebih sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kecuali pada hari-hari tertentu seperti Jumat Pahing atau hari raya Kupatan. Ampo dijual dengan harga yang cukup terjangkau, yaitu Rp 10.000 per kilogram.

Bagi Rasimah, usaha pembuatan dan penjualan ampo tidak hanya sebagai sumber penghasilan keluarga, tetapi juga sebagai upaya melestarikan warisan budaya. Ia berharap keahlian ini dapat terus diwariskan kepada anak dan cucunya agar camilan unik ini tetap eksis dan dikenal oleh generasi mendatang. Keluarga Rasimah merupakan satu-satunya di Semanding, bahkan mungkin di Tuban, yang masih mempertahankan tradisi pembuatan ampo secara turun-temurun, menjadikannya penjaga sekaligus pewaris tradisi kuliner yang kaya akan nilai sejarah dan budaya.

Proses pembuatan ampo sendiri membutuhkan waktu dan ketelatenan. Dari proses pengolahan tanah liat, penjemuran, hingga pemanggangan, semua dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini yang menyebabkan produksi ampo tidak terlalu besar, namun tetap mempertahankan kualitas dan cita rasa khasnya.