PHK Massal Sritex: Cerminan Gagalnya Kebijakan Industri Nasional

PHK Massal Sritex: Cerminan Gagalnya Kebijakan Industri Nasional

Keheningan menyelimuti area pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo. Mesin-mesin yang dulunya berdengung siang malam kini terdiam, meninggalkan debu dan kesunyian di bangunan-bangunan yang pernah menjadi jantung industri tekstil nasional. Penutupan Sritex pada Maret 2025 telah mengakibatkan lebih dari 10.000 buruh kehilangan pekerjaan, sebuah tragedi yang mengungkap kegagalan sistemik dalam pengelolaan industri nasional.

Lebih dari sekadar kehilangan pekerjaan, PHK massal ini merupakan pukulan telak bagi ribuan keluarga buruh. Hilangnya pendapatan utama mengancam keberlangsungan hidup mereka. Bayangan kesulitan ekonomi, mulai dari ketidakmampuan membayar cicilan rumah hingga biaya pendidikan anak, kini membayangi para mantan karyawan Sritex. Cerita seorang ibu yang telah bekerja selama lebih dari 20 tahun di Sritex, yang kini harus memikirkan masa depan anak-anaknya tanpa penghasilan tetap, menjadi representasi dari penderitaan yang dialami ribuan buruh lainnya. Mereka yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya bagi perusahaan, kini terdampar tanpa jaring pengaman sosial yang memadai.

Kejadian ini bukanlah peristiwa isolasi. Sejarah mencatat bagaimana industri tekstil di Indonesia kerap mengalami siklus boom dan bust, dengan buruh selalu menjadi pihak yang paling rentan. Kegagalan Sritex mencerminkan permasalahan yang lebih luas, yaitu lemahnya regulasi, minimnya perlindungan terhadap industri dalam negeri, dan kurangnya intervensi pemerintah yang tepat waktu dan efektif. Kondisi ini diperparah dengan derasnya arus impor produk tekstil murah, yang secara tidak adil menghancurkan daya saing industri lokal.

Ketiadaan perlindungan yang memadai dari pemerintah menjadi poin krusial. Meskipun Sritex pernah menjadi kebanggaan nasional, negara tampak absen ketika perusahaan menghadapi krisis. Janji-janji investasi, daya saing, dan digitalisasi, hanyalah jargon kosong bagi para buruh yang kehilangan mata pencaharian. Pemerintah terkesan baru bertindak setelah masalah membesar, ketika ribuan buruh telah kehilangan pekerjaan dan masa depan mereka menjadi tidak pasti.

Analisis mendalam menunjukkan beberapa faktor penyebab runtuhnya Sritex. Beban utang yang tinggi, persaingan yang tidak sehat, dan kebijakan industri yang tidak berpihak pada manufaktur dalam negeri, semua berkontribusi pada kejatuhan perusahaan. Namun, di balik angka-angka ekonomi tersebut, terdapat kegagalan kebijakan pemerintah yang tidak mampu memberikan perlindungan dan dukungan yang cukup bagi industri tekstil nasional.

Untuk mencegah terulangnya tragedi serupa, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret. Berikut beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan:

  • Perlindungan Buruh: Pemerintah harus segera menyediakan skema perlindungan sosial yang komprehensif bagi para buruh yang terkena PHK, termasuk bantuan keuangan, pelatihan vokasi, dan penempatan kerja.
  • Regulasi Perdagangan yang Ketat: Regulasi impor produk tekstil perlu diperketat untuk mencegah masuknya produk murah dari luar negeri yang tidak sehat dan mengancam industri lokal. Bukan proteksionisme, melainkan upaya untuk menciptakan persaingan yang adil dan berkelanjutan.
  • Restrukturisasi Industri: Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi industri tekstil dengan fokus pada inovasi teknologi dan peningkatan kualitas produk untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
  • Peningkatan Daya Saing: Pemerintah harus mendukung program-program yang meningkatkan daya saing industri tekstil dalam negeri, termasuk akses permodalan, teknologi, dan pasar.

PHK massal di Sritex merupakan alarm bagi pemerintah. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan industri nasional, maka tragedi serupa akan terus berulang. Kita perlu berbenah, bukan hanya untuk menyelamatkan industri tekstil, tetapi juga untuk melindungi martabat dan kesejahteraan para buruh yang merupakan tulang punggung perekonomian negara.