Etika dan Hukum Menjawab Salam dalam Islam: Panduan Praktis Berdasarkan Sumber Referensi Klasik

Etika dan Hukum Menjawab Salam dalam Islam: Panduan Praktis Berdasarkan Sumber Referensi Klasik

Islam sangat menekankan pentingnya etika sosial, dan salah satu manifestasinya adalah tata krama dalam bertegur sapa, khususnya dalam mengucapkan dan membalas salam. Salam, selain menjadi ungkapan penghormatan, juga merupakan bentuk doa kebaikan antar sesama Muslim. Pemahaman yang mendalam mengenai tata cara dan hukum menjawab salam menjadi krusial dalam konteks berinteraksi dalam komunitas Muslim.

Salah satu salam yang lazim digunakan adalah "Wa alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh". Penulisan arabnya yang benar adalah: وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. Transliterasinya menjadi: Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, yang berarti: "Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya tercurah kepadamu." Penggunaan kalimat ini mencerminkan doa dan harapan kebaikan bagi yang disapa.

Terkait hukum menjawab salam, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam konteks jumlah orang yang disapa. Kitab Hasyiyah Jamal, sebagaimana dijelaskan oleh Tim Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah, membedakan antara bacaan ta'rif ("Wa'alaikumussalam") dan tankir ("Wa'alaikumsalam"). Meskipun keduanya dianggap sah, bacaan ta'rif dianggap lebih utama. Namun, hal ini tidak mengurangi keabsahan penggunaan bentuk tankir.

Lebih lanjut, Akidah Akhlak Madrasah Ibtidaiyah Kelas IV karya Fida' Abdillah dan Yusak Burhanudin, menjelaskan bahwa hukum menjawab salam bersifat wajib 'ain jika ditujukan kepada seseorang secara individual. Artinya, setiap individu berkewajiban membalas salam yang ditujukan kepadanya. Namun, dalam konteks kelompok, pendapat ulama berbeda. Jika salam ditujukan kepada sekelompok Muslim, hukum menjawab salam menjadi fardhu kifayah. Artinya, kewajiban tersebut gugur apabila salah satu dari mereka telah menjawab salam tersebut. Akan tetapi, jika semua anggota kelompok menjawab salam secara bersamaan, maka akan mendapatkan pahala tambahan.

Pandangan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik melalui Zaid bin Aslam yang menyebutkan bahwa jika seseorang yang menaiki kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan salah seorang dari mereka menjawab salam tersebut, maka itu sudah cukup bagi seluruh kelompok. Hadits ini menggambarkan pentingnya saling menghormati dan cukupnya satu jawaban salam bagi seluruh kelompok.

Ayat Al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 86 (وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا ۝٨٦) juga menyinggung perihal membalas salam, walaupun tidak secara eksplisit. Ayat ini mendorong ummat Islam untuk membalas salam dengan lebih baik atau setidaknya dengan yang sepadan, karena Allah senantiasa mengawasi segala sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa balasan salam bukanlah sekedar formalitas, melainkan refleksi dari akhlak dan keimanan seseorang.

Kesimpulannya, memahami tata cara dan hukum menjawab salam merupakan bagian integral dari pemahaman ajaran Islam yang komprehensif. Baik secara individu maupun kelompok, menjawab salam dengan baik adalah kewajiban yang bernilai ibadah, merefleksikan akhlak mulia, dan mempererat ukhuwah Islamiyah.