Permintaan THR Jelang Lebaran: Antara Tradisi, Kebutuhan, dan Batas Etika
Permintaan THR Jelang Lebaran: Antara Tradisi, Kebutuhan, dan Batas Etika
Menjelang perayaan Idul Fitri, tradisi berbagi dan kebersamaan semakin terasa. Namun, di tengah semangat hari raya tersebut, muncul fenomena permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) melalui proposal yang menjadi sorotan di sejumlah daerah. Praktik ini terlihat di berbagai wilayah, mulai dari Tangerang Selatan hingga Jakarta Barat, melibatkan permintaan THR kepada pelaku usaha, perusahaan swasta, dan bahkan instansi pemerintahan daerah (Pemda).
Di Kota Tangerang Selatan, Wali Kota Benyamin Davnie mengakui telah menerima banyak proposal permintaan THR. Meskipun demikian, beliau menegaskan bahwa Pemerintah Kota Tangerang Selatan tidak memiliki anggaran khusus untuk memenuhi permintaan tersebut. "Saya akan berusaha semampu saya," ujar Benyamin, "karena tidak ada pos anggarannya di Pemkot. Jadi lebih bersifat pribadi." Pernyataan ini menekankan pentingnya pemberian THR secara sukarela dan menolak segala bentuk pemaksaan yang berpotensi melanggar hukum. Wali Kota Benyamin juga menghimbau masyarakat untuk melaporkan jika menemukan adanya paksaan dalam pengajuan proposal THR, menekankan pentingnya prinsip kesukarelaan dalam tradisi berbagi ini.
Fenomena serupa terjadi di RW 02 Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Sebuah surat edaran yang beredar di media sosial meminta THR kepada perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah tersebut. Surat tersebut menyebutkan nominal Rp 1 juta sebagai acuan kontribusi, memicu perdebatan publik. Sekretaris RW 02 Jembatan Lima, Febri, memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa surat tersebut ditujukan kepada pengguna jasa parkir, bukan warga, dan nominal yang tertera hanyalah acuan, dengan realisasi yang bervariasi antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000. Pengurus RW berargumen bahwa permintaan THR ini sebagai bentuk kontribusi sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan yang terdampak aktivitas bisnis di sekitar permukiman warga, mengingat kerusakan infrastruktur akibat aktivitas tersebut.
Dana yang terkumpul, menurut pengurus RW, akan digunakan untuk keperluan sosial warga, seperti membantu biaya pemakaman dan kebutuhan mendesak lainnya. Meskipun diklaim sukarela, kontroversi tetap muncul. Publik mempertanyakan apakah permintaan THR ini masih dalam batas kepatutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi para pelaku usaha. Menanggapi kontroversi yang muncul, Sekretaris RW menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang terjadi akibat surat edaran tersebut. Peristiwa ini menjadi cerminan dilema antara kebutuhan warga, tradisi berbagi, dan batasan-batasan etika dalam meminta bantuan menjelang Lebaran.
Kasus-kasus ini menunjukan kompleksitas situasi menjelang hari raya. Di satu sisi, ada tradisi berbagi dan kebutuhan sosial masyarakat. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran akan praktik yang dapat diinterpretasikan sebagai pemaksaan dan potensi penyalahgunaan. Pertanyaannya adalah bagaimana menyeimbangkan tradisi berbagi dengan prinsip kesukarelaan dan menghindari praktik-praktik yang tidak etis dalam meminta bantuan.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya edukasi dan kesadaran publik terhadap batasan-batasan etika dalam meminta bantuan dan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menciptakan mekanisme yang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan bantuan sosial. Dengan memahami hal ini, diharapkan perayaan Idul Fitri dapat berjalan dengan lebih tenang dan penuh kebersamaan.