Permintaan THR Jelang Lebaran: Antara Tradisi, Kebutuhan, dan Etika

Permintaan THR Jelang Lebaran: Antara Tradisi, Kebutuhan, dan Etika

Menjelang perayaan Idul Fitri, tradisi berbagi dan kebersamaan kembali hadir mewarnai suasana. Namun, tahun ini, tradisi tersebut diiringi dengan fenomena yang cukup menarik perhatian: maraknya permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) melalui proposal, baik kepada pemerintah daerah maupun perusahaan swasta. Di beberapa wilayah, seperti Tangerang Selatan dan Jakarta Barat, bermunculan berbagai proposal yang meminta kontribusi THR, memicu perdebatan tentang batas antara tradisi, kebutuhan, dan etika dalam meminta bantuan finansial.

Di Kota Tangerang Selatan, Wali Kota Benyamin Davnie mengakui adanya sejumlah proposal THR yang masuk ke kantor pemerintah kota. Namun, ia menegaskan bahwa Pemkot Tangerang Selatan tidak memiliki anggaran khusus untuk memenuhi permintaan tersebut. “Pemberian THR lebih bersifat pribadi dan saya akan berupaya semampu saya, karena memang tidak ada pos anggaran yang dialokasikan untuk hal ini,” jelasnya dalam pernyataan resmi di Pondok Cabe, Pamulang, Rabu (12/3/2025). Wali Kota menekankan pentingnya asas kesukarelaan dalam memberikan THR dan memperingatkan potensi tindak pidana jika terjadi pemaksaan dalam proses pengumpulan dana tersebut. Beliau menghimbau masyarakat untuk melapor apabila menemukan adanya praktik pemaksaan dalam pengajuan proposal THR.

Fenomena serupa juga terjadi di wilayah RW 02 Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Beredar sebuah surat edaran yang meminta kontribusi THR kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan bongkar muat di Jalan Laksa. Surat tersebut mencantumkan angka Rp 1.000.000 sebagai acuan, meskipun Sekretaris RW 02, Febri, menjelaskan bahwa angka tersebut hanyalah patokan dan perusahaan boleh memberikan kontribusi sesuai kemampuan. “Angka Rp 1 juta hanya sebagai acuan, kenyataannya ada yang memberikan Rp 200.000, ada juga yang Rp 300.000, dan semua sumbangan tersebut kami terima,” terangnya. Pengurus RW berdalih bahwa permintaan THR ini merupakan bentuk kontribusi sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) mengingat aktivitas perusahaan yang berdampak pada lingkungan sekitar.

Dana yang terkumpul direncanakan akan digunakan untuk kegiatan sosial warga, seperti membantu biaya pemakaman dan keperluan darurat lainnya. “(Dana tersebut) akan digunakan untuk banyak kegiatan sosial di sini. Misalnya, untuk membantu biaya pemakaman, dan keperluan darurat lainnya. Dana tersebut masuk ke kas RW dan akan disalurkan kembali kepada warga,” tambah Febri. Meskipun diklaim bersifat sukarela, kontroversi tetap muncul, menimbulkan pertanyaan publik tentang kesesuaian tindakan tersebut dengan norma kesopanan dan etika, serta potensi menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha. Menyikapi kontroversi tersebut, Sekretaris RW akhirnya meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi.

Kejadian ini menyoroti dilema antara kebutuhan warga, tradisi berbagi menjelang Lebaran, dan batasan-batasan etika dalam meminta bantuan. Perlu adanya pemahaman bersama akan pentingnya menjaga keseimbangan antara memenuhi kebutuhan sosial dan menghindari praktik yang dapat dinilai sebagai pemaksaan atau eksploitasi.

*Daftar Poin Penting: * Maraknya permintaan THR melalui proposal menjelang Lebaran. * Pernyataan Wali Kota Tangerang Selatan terkait tidak adanya anggaran khusus untuk THR. * Kasus permintaan THR oleh pengurus RW di Jakarta Barat dan klarifikasinya. * Dilema antara tradisi berbagi, kebutuhan sosial, dan etika dalam meminta bantuan. * Potensi tindak pidana jika terjadi pemaksaan dalam pengumpulan dana THR.