Anjloknya Penerimaan Pajak Indonesia: Analisis Dampak dan Strategi Pemerintah
Anjloknya Penerimaan Pajak Indonesia: Analisis Dampak dan Strategi Pemerintah
Laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp 187,8 triliun, mengalami penurunan signifikan sebesar 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini hanya mencapai 8,6 persen dari target tahunan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Penurunan ini berdampak pada pendapatan negara secara keseluruhan, yang tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, turun 20,85 persen dan baru mencapai 10,5 persen dari target Rp 3.005,1 triliun. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode tersebut. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dan pertanyaan mendalam mengenai kesehatan fiskal negara.
Faktor Penyebab Penurunan Penerimaan Pajak
Pemerintah mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak. Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menunjuk penurunan harga komoditas ekspor utama sebagai salah satu penyebab utama. Harga batu bara turun 11,8 persen, minyak mentah Brent turun 5,2 persen, dan nikel turun 5,9 persen. Selain faktor eksternal ini, kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 juga disebut sebagai faktor yang mempengaruhi penerimaan, meskipun pemerintah mengklaim bahwa tanpa kebijakan ini, penerimaan PPh 21 seharusnya lebih tinggi. Lebih lanjut, dampak relaksasi pajak yang diberikan pada periode sebelumnya turut mempengaruhi angka penerimaan pajak pada bulan Februari 2025.
Respon Pemerintah dan Pernyataan Para Pihak Terkait
Menanggapi situasi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta agar penurunan penerimaan pajak di awal tahun tidak didramatisir. Ia menekankan bahwa tren penurunan penerimaan pajak di awal tahun merupakan hal yang umum terjadi, berdasarkan data empat tahun terakhir, dan disebabkan oleh beberapa faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun terjadi defisit APBN, pemerintah optimistis kinerja keuangan negara dapat membaik di sisa tahun ini. Pemerintah menegaskan bahwa postur APBN 2025 tetap berpedoman pada defisit yang dirancang sebesar 2,53 persen dari PDB.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios). Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menuding Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) sebagai penyebab utama penurunan penerimaan pajak. Ia memperkirakan bahwa masalah pada Coretax telah menyebabkan pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 64 triliun pada Januari 2025, yang mengakibatkan penurunan penerimaan pajak hingga 41,8 persen pada bulan tersebut. Huda memprediksi rasio pajak terhadap PDB tahun 2025 akan lebih rendah dari tahun 2024, meningkatkan risiko defisit APBN di atas 3 persen dan potensi impeachment.
Kesimpulan dan Tantangan ke Depan
Penurunan penerimaan pajak di awal tahun 2025 menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan para ekonom. Meskipun pemerintah berusaha meminimalisir kekhawatiran dengan menjelaskan faktor-faktor penyebab dan optimisme akan perbaikan di masa mendatang, permasalahan sistemik seperti yang diungkap Celios terkait Coretax perlu ditangani secara cepat dan efektif. Keberhasilan pemerintah dalam mengatasi tantangan ini akan menentukan kesehatan fiskal negara dan kemampuannya dalam menjalankan program-program prioritas. Kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola ekonomi juga menjadi taruhan dalam situasi ini. Langkah-langkah konkrit dan transparan dari pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengatasi masalah pada sistem Coretax sangatlah diperlukan untuk meyakinkan publik dan investor.