Sidang Kasus Harun Masiku: Kehadiran di Ruang Kerja Ketua MA Saat Fatwa PAW Diterbitkan
Sidang Kasus Harun Masiku: Kehadiran di Ruang Kerja Ketua MA Saat Fatwa PAW Diterbitkan
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta mengejutkan dalam sidang kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap pengurusan anggota DPR RI pergantian antar waktu (PAW) 2019-2024, dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Dalam surat dakwaan, terungkap bahwa Harun Masiku, buronan kasus suap tersebut, berada di ruang kerja Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali pada 24 September 2019. Keberadaan Masiku di lokasi tersebut bertepatan dengan diterbitkannya Surat Nomor 37/Tuaka/TUN/2019 oleh MA. Surat tersebut menyatakan bahwa kewenangan penetapan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia diserahkan kepada pimpinan partai politik.
Peristiwa ini menjadi sorotan mengingat surat tersebut menjadi kunci dalam upaya pengurusan pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku di DPR RI. Jaksa menyatakan, "Pada saat fatwa MA diterbitkan, terdakwa (Hasto) dan Harun Masiku sedang berada di ruang kerja Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan menerima fatwa MA tersebut." Pernyataan ini disampaikan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Jumat (14/3/2025). Fakta ini semakin memperkuat dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam upaya meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI.
Latar belakang diterbitkannya fatwa MA tersebut terkait dengan meninggalnya Nazaruddin Kiemas, calon anggota legislatif (Caleg) PDI-P di Dapil Sumatra Selatan (Sumsel) I. Nazaruddin, yang memperoleh suara terbanyak, meninggal sebelum pelantikan. DPP PDI-P kemudian mengajukan permohonan kepada KPU untuk memberikan kursi tersebut kepada Harun Masiku. Namun, permintaan tersebut ditolak KPU karena bertentangan dengan undang-undang. DPP PDI-P kemudian meminta bantuan MA melalui permohonan yang berbunyi, "Pada pokoknya meminta (kepada Mahkamah Agung RI agar KPU RI bersedia melaksanakan amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor 57/P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019."
Pengurusan PAW Harun Masiku ini kemudian terungkap melibatkan sejumlah suap. Wahyu Setiawan, anggota KPU RI, menerima suap sebesar Rp 600 juta, sebagian di antaranya diduga bersumber dari Harun Masiku. Selain Wahyu, sejumlah pihak lain juga menerima sejumlah uang dalam upaya meloloskan Harun Masiku, termasuk eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina. Operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020 membongkar jaringan ini, menjerat Donny, Wahyu, Saeful, dan Tio. Atas perannya dalam kasus ini, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Kehadiran Harun Masiku di ruang kerja Ketua MA saat fatwa diterbitkan menimbulkan sejumlah pertanyaan dan menambah kompleksitas kasus ini. Proses hukum akan terus berjalan untuk mengungkap seluruh fakta dan menjerat semua pihak yang terlibat dalam rangkaian dugaan suap dan perintangan penyidikan ini. Perkembangan lebih lanjut dari persidangan ini akan terus dipantau dan dilaporkan.
Daftar poin penting dalam kronologi kejadian:
- Meninggalnya Nazaruddin Kiemas, Caleg PDI-P dengan perolehan suara terbanyak.
- Permintaan DPP PDI-P kepada KPU untuk memberikan kursi kepada Harun Masiku, ditolak karena melanggar undang-undang.
- Permohonan DPP PDI-P kepada Mahkamah Agung.
- Penerbitan Surat Nomor 37/Tuaka/TUN/2019 oleh MA.
- Kehadiran Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto di ruang kerja Ketua MA saat fatwa diterbitkan.
- Suap kepada anggota KPU, Wahyu Setiawan, sebesar Rp 600 juta.
- OTT KPK yang membongkar jaringan suap.
- Dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto.