Pemotongan Bantuan Pangan Ancam Krisis Kemanusian di Kamp Pengungsi Rohingya Bangladesh

Pemotongan Bantuan Pangan Ancam Krisis Kemanusian di Kamp Pengungsi Rohingya Bangladesh

Lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya yang berlindung di Bangladesh sejak krisis kemanusiaan 2017 di Myanmar kini menghadapi ancaman krisis baru: pemotongan bantuan pangan. Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengumumkan pengurangan jatah makanan hingga 50% mulai April 2024, dari US$12,50 menjadi US$6 per orang per bulan. Keputusan ini dipicu oleh kekurangan pendanaan yang signifikan, mengancam kesehatan dan keselamatan jutaan jiwa yang telah hidup dalam kondisi memprihatinkan selama bertahun-tahun di kamp-kamp pengungsi yang padat di Cox's Bazar.

Shafika, seorang pengungsi berusia 38 tahun yang tinggal di kamp Kutupalong bersama enam anggota keluarganya, menggambarkan pengumuman tersebut sebagai "serangan jantung". Ia mempertanyakan bagaimana keluarganya, dan ribuan pengungsi lainnya, akan bertahan hidup dengan jatah yang jauh berkurang. Kebebasan bergerak yang terbatas, bahkan untuk mencari nafkah, membuat mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan internasional. Ketakutan akan peningkatan kejahatan, seperti pencurian, perampokan, dan penculikan untuk tebusan, juga meningkat seiring dengan berkurangnya jatah makanan. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa banyak pengungsi dilarang bekerja di luar kamp karena risiko penangkapan, penculikan, atau bahkan pembunuhan. Mohammad Esha, pengungsi lainnya, senada dengan kekhawatiran Shafika, menekankan kesulitan mencari penghasilan dan ketergantungan penuh pada bantuan pangan. Ia menyatakan bahwa LSM lokal pun tak memberikan peluang kerja, sementara usaha-usaha kecil yang mereka coba jalankan seringkali dihancurkan.

Analisis Penyebab dan Dampak Kekurangan Dana

Meskipun WFP belum secara gamblang menjelaskan penyebab kekurangan dana, Komisaris Bantuan dan Pemulangan Pengungsi Bangladesh (RRRC), Mohammed Mizanur Rahman, menyoroti kemungkinan peran kebijakan pemerintah Amerika Serikat di masa lalu. Ia menganggap keputusan Presiden Donald Trump untuk menghentikan sebagian besar bantuan luar negeri dan membubarkan USAID sebagai faktor utama. Rahman menjelaskan bahwa sekitar 80% dana WFP berasal dari Amerika Serikat. Pembekuan bantuan selama 90 hari yang diterapkan pada 2020 dianggap telah menciptakan dampak yang signifikan pada kemampuan WFP untuk memenuhi kebutuhan pengungsi. Sementara Uni Eropa telah mengumumkan peningkatan bantuan, jumlahnya dinilai masih jauh dari cukup untuk menutupi defisit pendanaan. Rahman memperingatkan bahwa dengan jatah makanan yang hanya sekitar US$0,07 per porsi, akan sangat sulit bagi pengungsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi minimal. Hal ini akan menyebabkan peningkatan risiko kelaparan dan malnutrisi, khususnya bagi anak-anak dan kelompok rentan lainnya.

Seruan Aksi dan Antisipasi Konsekuensi

Dampak pemotongan bantuan pangan tidak hanya akan dirasakan dalam bentuk kelaparan dan malnutrisi. John Quinley, Direktur Fortify Rights, memperingatkan potensi peningkatan ketidakstabilan regional. Ia mengkhawatirkan peningkatan upaya pengungsi untuk mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia, yang berpotensi meningkatkan eksploitasi oleh jaringan perdagangan manusia. Quinley mendesak pemerintah AS untuk segera mengubah kebijakannya dan mengembalikan dukungan USAID. Situasi ini membutuhkan respon cepat dan komprehensif dari komunitas internasional untuk mencegah krisis kemanusiaan yang lebih besar. Langkah-langkah mendesak diperlukan untuk memastikan ketersediaan pangan bagi pengungsi Rohingya di Bangladesh, sekaligus mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan krisis ini.

  • Sumber: DW Bahasa Inggris (dengan penyesuaian dan perluasan informasi)*