Wacana Tilang Syariah Menuai Kontroversi: DPR Desak Kajian Ulang Aturan Lalu Lintas
Wacana Tilang Syariah Menuai Kontroversi: DPR Desak Kajian Ulang Aturan Lalu Lintas
Polemik rencana penerapan 'tilang syariah' oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, telah memicu reaksi keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, menyatakan bahwa meskipun gagasan tersebut berangkat dari niat baik, namun implementasinya perlu dikaji ulang secara mendalam untuk memastikan keselarasan dengan regulasi hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip keadilan yang adil bagi seluruh warga negara.
Dede menekankan pentingnya mengedepankan aturan hukum yang berlaku dalam menegakkan ketertiban berlalu lintas. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang secara tegas mengatur tugas dan wewenang kepolisian dalam bidang lalu lintas. Menurutnya, aturan di jalan raya haruslah konsisten dan merujuk pada aturan yang telah ditetapkan, bukan pada praktik yang dapat ditafsirkan secara beragam dan berpotensi menimbulkan diskriminasi.
"Penerapan sanksi tilang harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," tegas Dede dalam keterangan resmi yang diterima media. Ia menambahkan bahwa jika memang dirasa perlu adanya imbauan atau edukasi bagi pelanggar lalu lintas, maka hal tersebut haruslah relevan dengan peraturan berlalu lintas, seperti pengetahuan rambu-rambu jalan dan tata cara berkendara yang aman dan sesuai aturan, bukan dengan mengacu pada hafalan ayat Alquran.
Lebih lanjut, Dede juga menyoroti aspek keberagamaan Indonesia yang plural. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, termasuk dalam hal penegakan hukum lalu lintas, haruslah bersifat inklusif dan tidak diskriminatif terhadap pemeluk agama tertentu. "Indonesia adalah negara dengan beragam agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, setiap kebijakan haruslah adil dan berlaku untuk semua warga negara tanpa terkecuali," ujarnya.
Dede berharap, Polri dapat mempertimbangkan kembali wacana tilang syariah dan fokus pada upaya penegakan hukum lalu lintas yang adil, konsisten, dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk mematuhi peraturan lalu lintas demi keselamatan bersama dan tertibnya sistem transportasi di Indonesia. "Mari kita patuhi rambu-rambu lalu lintas dan mendukung kepolisian dalam menegakkan hukum secara profesional dan berkeadilan," imbuhnya.
Sementara itu, sebelumnya diberitakan bahwa Polres Lombok Tengah telah meluncurkan program tilang syariah sebagai inovasi dalam penindakan pelanggaran lalu lintas. Pelanggar diberikan pilihan untuk membaca atau mengaji ayat suci Al-Quran sebagai pengganti denda tilang. Gagasan ini, menurut pihak kepolisian, bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai keagamaan dan minat membaca Al-Quran di masyarakat. Namun, pendekatan ini menuai kontroversi dan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan keadilan penerapannya.
Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan terkait wacana tilang syariah ini adalah:
- Legalitas: Apakah program ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
- Kesetaraan: Apakah program ini adil dan tidak diskriminatif terhadap warga negara yang berbeda agama?
- Efektivitas: Apakah program ini efektif dalam meningkatkan kepatuhan berlalu lintas?
- Implementasi: Bagaimana mekanisme dan prosedur pelaksanaannya agar tidak menimbulkan masalah baru?
Perdebatan seputar tilang syariah ini memperlihatkan kompleksitas tantangan dalam memadukan nilai-nilai keagamaan dengan sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia, yang mengharuskan adanya keseimbangan antara aspek hukum, sosial, dan keagamaan dalam menciptakan kebijakan publik yang bijaksana dan berkeadilan.