Kelemahan Penegakan Hukum Picu Maraknya Pelanggaran Lalu Lintas oleh Bus Umum

Kelemahan Penegakan Hukum Picu Maraknya Pelanggaran Lalu Lintas oleh Bus Umum

Maraknya perilaku mengemudi ugal-ugalan yang dilakukan oleh para pengemudi bus umum di jalan raya menjadi salah satu tantangan besar dalam mewujudkan sistem transportasi umum yang aman dan tertib. Kondisi ini bukan hanya membahayakan keselamatan penumpang, namun juga mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya. Minimnya efektivitas penegakan hukum dinilai sebagai akar permasalahan yang mendasari tingginya angka pelanggaran lalu lintas oleh armada bus. Pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto, menekankan perlunya langkah tegas dan konsisten dalam penegakan hukum secara menyeluruh, mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan di lapangan. Lebih lanjut, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk bekerjasama secara proporsional dan saling mendukung demi terciptanya sistem transportasi yang lebih baik.

"Selama ini, masih terlihat adanya kesan bahwa masing-masing pihak cenderung memprioritaskan kepentingan sendiri," ungkap Budiyanto dalam wawancara dengan Kompas.com pada Kamis (13/3/2025). "Padahal, ekosistem transportasi umum terdiri dari berbagai variabel yang saling berkaitan, meliputi kendaraan, infrastruktur jalan, sumber daya manusia (SDM), dan aspek lingkungan. Semuanya saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain." Ia menambahkan bahwa upaya pembenahan sistem transportasi, khususnya terkait perilaku mengemudi ugal-ugalan, tidak dapat dilakukan secara parsial atau hanya berfokus pada satu aspek saja. Dibutuhkan pendekatan holistik dan terintegrasi untuk mencapai solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) telah mengatur secara jelas tentang kewajiban mengemudi dengan wajar dan penuh konsentrasi. Namun, realitanya masih banyak pengemudi bus yang mengabaikan aturan tersebut dan mengemudi secara ugal-ugalan. Budiyanto menjelaskan sanksi hukum yang tertuang dalam Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut mengatur tentang sanksi pidana penjara maksimal satu tahun atau denda Rp 3.000.000 bagi pengemudi yang mengemudikan kendaraan dengan cara membahayakan nyawa atau barang. Lebih berat lagi, jika perbuatan tersebut mengakibatkan kerusakan kendaraan dan korban jiwa, pelaku dapat dijerat dengan hukuman penjara 2 hingga 12 tahun sesuai dengan Pasal 311 ayat (2) hingga ayat (5) UU yang sama.

Meskipun aturan hukum telah tersedia dan terbilang cukup memadai, Budiyanto menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten. "Aturan hukum kita terkadang tajam ke bawah, tumpul ke atas," tegasnya. Ia menambahkan bahwa masih kurangnya komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk menegakkan aturan menjadi penghambat utama dalam mengatasi masalah ini. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan aktif dari seluruh stakeholder, termasuk pemerintah, operator transportasi, aparat penegak hukum, dan masyarakat, dalam melakukan pengawasan dan memastikan pelaksanaan hukum berjalan sesuai koridor yang telah ditetapkan. Hanya dengan kolaborasi dan komitmen bersama, maraknya perilaku ugal-ugalan pengemudi bus dapat ditekan dan keselamatan pengguna jalan dapat diprioritaskan.

  • Penegakan Hukum: Lemahnya penegakan hukum menjadi akar masalah utama.
  • Ugal-ugalan Pengemudi Bus: Perilaku mengemudi ugal-ugalan yang mengancam keselamatan.
  • UU LLAJ: Aturan hukum yang sudah ada, tetapi belum efektif diterapkan.
  • Sanksi Hukum: Penjelasan tentang sanksi hukum bagi pengemudi yang melanggar.
  • Kolaborasi Stakeholder: Perlunya kerjasama berbagai pihak untuk mengatasi masalah.
  • Pengawasan: Pentingnya pengawasan yang ketat dan konsisten.
  • Keselamatan Pengguna Jalan: Prioritas utama dalam sistem transportasi yang aman dan tertib.