Desakan Tuntaskan Kasus Pelecehan Seksual Anak oleh Mantan Kapolres Ngada: Hukuman Berat dan Pemulihan Korban

Desakan Tuntaskan Kasus Pelecehan Seksual Anak oleh Mantan Kapolres Ngada: Hukuman Berat dan Pemulihan Korban

Anggota DPD RI sekaligus aktivis perlindungan anak, Fahira Idris, melontarkan kecaman keras terhadap mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Mantan perwira polisi tersebut diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan seorang dewasa. Parahnya, penyelidikan sementara mengindikasikan adanya dugaan perekaman, penyimpanan, dan penyebaran konten asusila anak melalui dark web, serta penyalahgunaan narkoba oleh terduga pelaku. Kejahatan ini, menurut Fahira, merupakan bentuk pelanggaran hukum yang sangat serius dan tidak dapat ditoleransi.

"Kejahatan seksual terhadap anak sudah termasuk kejahatan luar biasa," tegas Fahira dalam keterangan pers di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 14 Maret 2024. "Namun, kasus ini diperparah dengan dugaan penyebaran konten asusila melalui dark web dan penyalahgunaan narkoba. Ini merupakan kejahatan yang sangat mengerikan dan di luar nalar kita." Ia menekankan betapa pentingnya penegakan hukum yang tegas dan transparan dalam kasus ini, seraya menyatakan keprihatinannya atas masih maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, meskipun hukuman berat, bahkan hukuman mati, telah dijatuhkan pada pelaku di kasus-kasus serupa sebelumnya.

Fahira mendesak agar mantan Kapolres Ngada tersebut dijerat dengan pasal berlapis, mengingat tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukannya. Menurutnya, pelaku harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Tidak boleh ada hukuman ringan bagi predator anak," tegasnya. Ia juga menyampaikan keyakinannya bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan menuntaskan kasus ini dengan profesional dan transparan.

Selain tuntutan hukuman berat bagi pelaku, Fahira juga menekankan pentingnya pemenuhan hak-hak korban. "Negara harus hadir memastikan pemulihan korban secara menyeluruh," ujarnya. Pemulihan tersebut meliputi aspek fisik dan psikis, mengingat dampak jangka panjang kejahatan seksual terhadap perkembangan anak. Fahira menjabarkan beberapa hak penting korban yang harus dipenuhi negara, antara lain:

  • Layanan Hukum: Bantuan hukum, konsultasi hukum, pendampingan hukum, dan penguatan psikologis.
  • Layanan Kesehatan: Pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis yang komprehensif.
  • Rehabilitasi: Rehabilitasi medis, mental, sosial, fisik, psikologis, psikososial, dan spiritual.

Fahira menegaskan bahwa pemulihan korban merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Ia berharap kasus ini menjadi momentum untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, serta menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.

Kasus ini juga mempertanyakan mekanisme pengawasan dan rekrutmen internal kepolisian, terutama menyangkut integritas moral para personelnya. Peristiwa ini menjadi peringatan akan pentingnya penegakan etika dan hukum yang konsisten untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi anak-anak di Indonesia.