Inflasi Mendorong Naiknya Harga Kue Homemade: Seorang Pembuat Kue Menjelaskan Strategi Kelangsungan Bisnisnya

Inflasi Mendorong Naiknya Harga Kue Homemade: Seorang Pembuat Kue Menjelaskan Strategi Kelangsungan Bisnisnya

Di tengah gejolak ekonomi global yang turut memicu inflasi di berbagai sektor, tak sedikit pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terpaksa menaikkan harga jual produknya agar tetap mampu bertahan. Salah satunya adalah Norlailanazira Mohd Agos, seorang pembuat kue rumahan yang menjual kue cokelat moist seharga RM 150 (sekitar Rp 553.000). Harga tersebut menuai beragam reaksi dari konsumen, sebagian besar dilatarbelakangi oleh meningkatnya biaya produksi.

Norlailanazira, melalui unggahannya di Facebook, dengan lugas menjelaskan alasan di balik harga kue cokelatnya yang terbilang tinggi. Ia menekankan bahwa penetapan harga tersebut bukanlah semata-mata untuk meraup keuntungan berlebih, melainkan strategi demi keberlangsungan bisnisnya. Kue cokelat moist berukuran 25x25 cm tersebut dibuat satu lapis dengan topping ganache cokelat, sebuah proses yang membutuhkan ketelitian dan keahlian khusus. Ia menuturkan bahwa kenaikan harga bahan baku secara signifikan telah memaksanya untuk menaikkan harga jual. Sebagai contoh, harga bubuk cokelat yang sebelumnya RM 18 (Rp 66.256) kini melonjak menjadi RM 45 (Rp 165.640), demikian pula dengan bahan baku adonan sponge cake yang mengalami kenaikan dari RM 8 (Rp 29.447) menjadi RM 9,50 (Rp 34.968).

Lebih lanjut, Norlailanazira menjelaskan bahwa keputusan untuk mempertahankan harga jual yang relatif tinggi bukan tanpa pertimbangan. Sebagai pengusaha kue rumahan di kota kecil, ia tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan skala ekonomi seperti yang dimiliki oleh toko kue komersial berskala besar. Toko-toko kue besar biasanya dapat memperoleh bahan baku dengan harga grosir yang lebih murah. Ia pun dengan bijak menyadari bahwa harga jualnya yang tinggi mungkin akan mengurangi jumlah pelanggan. Namun, ia menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah keberlangsungan usaha dan terhindar dari kerugian finansial.

Sikap tegas Norlailanazira dalam menentukan harga jualnya justru mendapat dukungan luas dari warganet. Banyak yang memahami konteks kenaikan harga bahan baku dan seluk-beluk bisnis rumahan. Netizen juga menyoroti keterampilan dan dedikasi yang dibutuhkan dalam membuat kue homemade yang berkualitas, yang membedakannya dari produk massal. Mereka mengakui bahwa keahlian dalam memanggang dan dekorasi kue turut berperan signifikan dalam menentukan harga jual. Hal ini menunjukkan bahwa harga yang tinggi juga mencerminkan kualitas dan usaha yang diinvestasikan dalam setiap produk.

Kenaikan harga jual ini pun bukan fenomena yang terisolasi pada kasus Norlailanazira. Banyak pelaku usaha kuliner lainnya juga menghadapi tantangan serupa, di mana mereka harus beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang berubah-ubah dan mencari titik keseimbangan antara harga jual, keuntungan, dan daya beli konsumen. Kasus ini pun menggarisbawahi pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pelaku usaha dan konsumen, sehingga konsumen dapat memahami kondisi usaha yang sebenarnya dan menghargai proses di balik produk yang dikonsumsinya.

Meskipun demikian, tantangan bagi pelaku UMKM seperti Norlailanazira tetap ada. Diperlukan strategi yang inovatif dan berkelanjutan agar dapat tetap bersaing di tengah inflasi dan fluktuasi harga bahan baku. Hal ini meliputi diversifikasi produk, peningkatan efisiensi operasional, dan eksplorasi pasar yang lebih luas. Keberhasilan Norlailanazira dalam mendapatkan dukungan publik melalui penjelasan yang jujur dan transparan dapat menjadi pelajaran berharga bagi pelaku UMKM lainnya dalam menghadapi tantangan ekonomi.