Stimulasi Saraf Vagus (VNS): Harapan Baru Pengobatan Epilepsi di Indonesia

Stimulasi Saraf Vagus (VNS): Harapan Baru Pengobatan Epilepsi di Indonesia

Epilepsi, penyakit neurologis yang kerap diiringi stigma sosial negatif, kini menawarkan secercah harapan baru bagi para penderitanya di Indonesia. Perkembangan teknologi medis telah menghadirkan Stimulasi Saraf Vagus (VNS), sebuah inovasi terapi implan yang menjanjikan pengurangan frekuensi kejang. Teknologi ini, yang telah lama diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa, kini resmi hadir di Indonesia sejak November 2023, membuka peluang pengobatan yang lebih efektif bagi pasien epilepsi yang resisten terhadap pengobatan konvensional.

VNS, yang secara mekanisme kerjanya mirip dengan pacemaker jantung, berupa alat pacu saraf yang ditanam di bawah kulit dekat saraf vagus di leher. Alat ini mengirimkan impuls listrik periodik ke otak, membantu meredam aktivitas kejang. Dr. Heri Subianto, spesialis bedah saraf dari National Hospital Neuroscience Center (NHNC), Surabaya, menjelaskan bahwa VNS direkomendasikan khususnya untuk pasien dengan epilepsi resisten obat (drug-resistant epilepsy), yaitu kondisi di mana kejang tidak terkontrol meski telah menjalani pengobatan dengan dua jenis obat atau lebih. Selain itu, pasien dengan epilepsi fokal (kejang terlokalisir di satu area otak) dan epilepsi general (kejang menyeluruh di otak) juga dapat menjadi kandidat pengguna VNS. Studi telah menunjukkan efektivitas VNS dalam mengurangi frekuensi kejang hingga 50-90 persen pada kasus-kasus tertentu seperti sindrom Lennox-Gastaut, sindrom Dravet, dan sindrom Rett.

Proses dan Efektivitas Terapi VNS:

Proses adaptasi tubuh terhadap VNS memerlukan waktu. Efek optimal terapi biasanya baru terasa setelah 6 bulan hingga 1 tahun pasca-implan. Pengaturan (pemrograman) alat dilakukan secara bertahap melalui kontrol berkala oleh dokter. Keunggulan VNS juga terletak pada kemampuan pemrograman jarak jauh via telekonsultasi, sehingga meminimalkan kunjungan pasien ke rumah sakit. Meskipun demikian, seperti halnya prosedur medis lainnya, VNS memiliki efek samping, berdasarkan penelitian terbaru tahun 2024, efek samping yang umum terjadi antara lain suara serak (saat alat aktif), batuk ringan, kesemutan, dan sesak napas. Efek-efek tersebut umumnya bersifat sementara dan mereda dalam 1-3 tahun.

Keamanan dan Perawatan VNS:

Dr. Heri menekankan bahwa keamanan VNS telah teruji melalui empat tahapan uji klinis yang ketat sebelum mendapat izin edar. Penting untuk diingat bahwa VNS bukan merupakan obat yang menyembuhkan epilepsi, melainkan terapi paliatif yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien tetap perlu mengonsumsi obat epilepsi, meskipun dosisnya dapat dikurangi secara bertahap seiring dengan berkurangnya frekuensi kejang. VNS dilengkapi baterai yang memiliki daya tahan rata-rata 5-10 tahun dan dapat diganti dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dibandingkan dengan pemasangan awal.

Kesimpulan:

Kehadiran VNS di Indonesia menandai babak baru dalam pengobatan epilepsi. Teknologi ini menawarkan harapan bagi para penderita untuk mengurangi frekuensi kejang dan meningkatkan kualitas hidup, memungkinkan mereka untuk lebih aktif dan produktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Epilepsi bukan lagi penghalang untuk mencapai potensi diri. Dengan pengobatan dan terapi yang tepat, seperti VNS, penderita epilepsi dapat hidup normal dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat.