Inkonsistensi Dakwaan KPK dalam Kasus Suap Harun Masiku Dipertanyakan

Inkonsistensi Dakwaan KPK dalam Kasus Suap Harun Masiku Dipertanyakan

Kuasa hukum Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, mempertanyakan adanya inkonsistensi dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap yang menjerat mantan kader PDI-P, Harun Masiku. Pernyataan ini disampaikan Febri usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025). Inkonsistensi tersebut, menurut Febri, terletak pada sumber uang sebesar Rp 400 juta yang diduga digunakan Harun Masiku untuk menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.

Febri menjelaskan bahwa dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa KPK merupakan suatu kompilasi dari tiga surat dakwaan terpisah, yang melibatkan Wahyu Setiawan, eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Hasto Kristiyanto. Ia menyorot perbedaan signifikan antara keterangan dalam dakwaan Wahyu Setiawan dengan dakwaan yang dibacakan baru-baru ini. Dalam dakwaan Wahyu, yang kini telah berstatus terpidana dan bebas, disebutkan bahwa uang Rp 400 juta tersebut diserahkan Harun Masiku kepada Saeful Bahri sekitar tanggal 17 atau 19 Desember 2019. Namun, dakwaan terbaru terhadap Hasto Kristiyanto justru seolah-olah menunjuk Hasto sebagai sumber dana tersebut.

"Kejanggalan ini sangat memprihatinkan," tegas Febri. "Bagaimana mungkin KPK, sebagai lembaga penegak hukum, mengeluarkan dua dakwaan dengan fakta yang saling bertolak belakang? Apakah perubahan signifikan dalam dakwaan ini semata-mata bertujuan untuk menjerat Hasto Kristiyanto?" Pertanyaan ini dilayangkan Febri kepada KPK, menyiratkan adanya dugaan politisasi hukum dalam kasus ini. Ia mendesak KPK untuk memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel terkait perbedaan substansial dalam kedua dakwaan tersebut.

Hasto Kristiyanto sendiri didakwa atas dua pasal berbeda. Dakwaan pertama, ia dituduh melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP terkait perintangan penyidikan (obstruction of justice). Dakwaan kedua, ia didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, terkait dugaan suap untuk membantu Harun Masiku menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) 2019-2024. Kasus ini, yang melibatkan sejumlah aktor kunci, menunjukkan kompleksitas dan sensitivitas proses penegakan hukum di Indonesia, dan mengantarkan publik pada pertanyaan yang lebih mendasar terkait integritas dan konsistensi proses hukum yang sedang berjalan.

Febri Diansyah juga menekankan perlunya penyelidikan yang lebih mendalam dan transparan untuk mengungkap kebenaran dibalik perbedaan narasi ini. Ia berharap agar publik dapat menyaksikan proses hukum yang adil dan obyektif, terlepas dari status dan posisi para pihak yang terlibat. Kejadian ini sekali lagi menyoroti pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum di Indonesia, serta pentingnya menjaga independensi lembaga penegak hukum agar tidak terjerat dalam kepentingan politik praktis. Publik menantikan respons resmi dari KPK atas tudingan inkonsistensi dakwaan ini dan langkah-langkah apa yang akan diambil untuk memastikan keadilan ditegakkan.