Puasa Ramadan: Jalan Menuju Kesucian dan Penolakan Kepalsuan
Puasa Ramadan: Jalan Menuju Kesucian dan Penolakan Kepalsuan
Puasa di bulan Ramadan, sebagai rukun Islam, bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, puasa merupakan ibadah spiritual yang mendalam, bertujuan untuk mencapai derajat takwa—kesalehan dan ketaatan kepada Allah SWT. Kemampuan menahan hawa nafsu, termasuk lapar dan haus, hanyalah aspek dasar dari ibadah ini. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa banyak yang berpuasa hanya untuk merasakan lapar dan haus, tanpa mencapai esensi spiritualnya.
Hakikat puasa terletak pada penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini menuntut pelepasan dari belenggu kepalsuan, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Kepalsuan, sayangnya, begitu meresap dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Ketidakjujuran, baik dalam skala individu maupun institusi, menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Kasus pengoplosan BBM subsidi, penjualan emas ilegal, dan berbagai bentuk korupsi, membuktikan betapa meluasnya praktik kepalsuan yang merugikan negara dan rakyat. Ironisnya, pelakunya seringkali berasal dari kalangan yang secara materi berkecukupan, bahkan bergelimang harta. Ketamakan dan ketidakpuasan menjadi akar permasalahan yang mendorong tindakan-tindakan tersebut.
Kepalsuan juga memanifestasikan diri dalam bentuk keimanan palsu. Banyak yang mengaku beriman, namun mengabaikan perintah agama dan mengedepankan kepentingan duniawi. Prioritas yang terbalik, dengan mengutamakan ambisi kekuasaan, popularitas, dan kemewahan, menunjukkan betapa rapuhnya keimanan yang mereka klaim. Padahal, harta benda dan kedudukan duniawi bersifat sementara, sedangkan nilai-nilai spiritual bersifat kekal. Puasa hadir sebagai sarana untuk menyadarkan manusia akan hal ini, untuk kembali kepada fitrah kesucian yang telah dianugerahkan Allah sejak awal penciptaan.
Dari Kepalsuan Menuju Keautentikan Diri
Puasa adalah proses tirakat untuk meminimalisir kepalsuan dan membangun keautentikan diri. Keautentikan berarti hidup sesuai dengan fitrah yang suci. Namun, godaan duniawi seringkali menutupi kesucian itu, sehingga manusia terperangkap dalam kepalsuan. Puasa mengajak untuk kembali pada fitrah tersebut. Menahan lapar dan haus bukan hanya soal fisik, melainkan juga latihan untuk mengurangi keserakahan dan empati terhadap mereka yang kekurangan. Hal ini mencegah manusia melakukan tindakan keliru demi mengejar materi.
Lebih jauh, puasa mengajarkan kejujuran dalam ucapan. Janji-janji kosong, terutama dari para pemimpin, harus dihindari. Kekuasaan yang dibangun atas dasar kepalsuan akan rapuh dan tidak berkelanjutan. Mengendalikan amarah juga penting, karena amarah dapat mengaburkan kejernihan pikiran dan menghambat proses penyucian diri. Melalui puasa, individu berkesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, memurnikan niat, dan melepaskan diri dari jeratan kepalsuan. Dengan demikian, puasa Ramadan bukan hanya ibadah ritual semata, tetapi juga proses transformasi spiritual menuju kesucian dan keautentikan diri.
Achmad Saeful, Kepala Unit Litbang Pesantren Ibnu Syam Cilegon, dosen Institut Binamadani Tangerang