Kehidupan Seorang Nenek dan Cucunya di Bekas Pos Ronda Kota Baubau
Kehidupan Seorang Nenek dan Cucunya di Bekas Pos Ronda Kota Baubau
Di tengah hiruk pikuk Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, terdapat kisah pilu yang menyayat hati. Nenek Wa Ade (70 tahun) bersama cucunya, Fikram (8 tahun), menghabiskan hari-hari mereka di sebuah bangunan kecil, bekas pos ronda di Kelurahan Wangkanapi, Kecamatan Wolio. Bukan pilihan, melainkan sebuah keputusannya yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab dan keengganan untuk membebani anak-anaknya. Selama hampir dua tahun, bangunan seluas kurang lebih 2x3 meter itu menjadi saksi bisu perjuangan seorang nenek yang gigih menghadapi kerasnya kehidupan.
Bangunan reot yang disebut tempat tinggal itu lebih mirip rumah panggung sederhana. Dinding samping dan belakangnya terbuat dari papan kayu yang sudah lapuk, sementara bagian depan sama sekali tak memiliki dinding. Saat hujan deras, air dengan mudah menerobos masuk, memaksa Nenek Wa Ade untuk melindungi diri dan cucunya dengan tirai bambu. Bayangkan, bagaimana mereka bertahan dalam kondisi cuaca ekstrem tanpa perlindungan yang memadai? Hanya tirai bambu yang mampu menahan terpaan angin dan hujan. Kondisi ini menggambarkan potret nyata kemiskinan dan ketidakberdayaan yang dihadapi Nenek Wa Ade dan cucunya.
Nenek Wa Ade memiliki empat anak. Tiga di antaranya tinggal di Kabupaten Muna, sementara satu anak tinggal di Kota Baubau, bekerja sebagai buruh pelabuhan. Meski anaknya di Baubau telah menawarkan bantuan, Nenek Wa Ade menolaknya. Ia memilih untuk hidup mandiri, meskipun dalam kondisi memprihatinkan, demi menghindari beban bagi anak-anaknya yang telah berkeluarga. Keteguhan hatinya patut diacungi jempol, meskipun hal itu memaksanya untuk hidup dalam keterbatasan yang sangat menyedihkan.
Perjuangannya merawat Fikram sejak usia tiga bulan menjadi bukti cinta kasih seorang nenek yang luar biasa. Sebelum tinggal di bekas pos ronda, mereka pernah mendirikan warung kecil di terminal Lapangan Tembak. Namun, setelah terminal tersebut dibongkar, warungnya ikut rata dengan tanah. Beruntunglah, kepala lingkungan mengizinkan mereka untuk tinggal di bekas pos ronda tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nenek Wa Ade terpaksa menjadi pemulung. Ia mengumpulkan kardus dan botol plastik, kemudian menjualnya untuk mendapatkan uang. Hasilnya, yang kadang mencapai Rp 100.000, digunakan untuk membeli beras dan keperluan lainnya. Kehidupan yang serba kekurangan ini bahkan belum mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial setempat, meskipun sesekali ada warga yang memberikan bantuan beras. Kisah ini menggugah keprihatinan akan masih adanya masyarakat yang hidup dalam keterbatasan dan membutuhkan uluran tangan.
Harapan Nenek Wa Ade sederhana: mendapatkan tempat tinggal yang layak agar ia dan cucunya bisa hidup lebih baik. Kisah Nenek Wa Ade menjadi cerminan dari banyaknya permasalahan sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Perjuangan seorang nenek yang luar biasa ini layak untuk diapresiasi dan mendapatkan solusi agar mereka dapat hidup dengan layak dan terbebas dari kesulitan ekonomi dan tempat tinggal yang tidak layak.