Penolakan AS terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Langkah Mundur bagi Kerja Sama Global
Penolakan AS terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Langkah Mundur bagi Kerja Sama Global
Pada Selasa pekan lalu, di tengah Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump secara resmi menyatakan penolakan dan kecaman terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau Sustainable Development Goals. Pengumuman mengejutkan ini disampaikan langsung oleh Edward Heartney, Penasihat Urusan Ekonomi dan Sosial Misi AS untuk PBB. Pernyataan tersebut menandai sebuah langkah signifikan yang mengusik komitmen global dalam mencapai agenda pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2030.
Heartney, dalam pidatonya, berargumen bahwa SDGs mewakili sebuah program tata kelola global yang dianggapnya terlalu lunak dan tidak sejalan dengan kedaulatan AS. Lebih jauh lagi, ia menyatakan bahwa inisiatif tersebut merugikan hak dan kepentingan warga negara Amerika. Pemerintahan Trump, lanjut Heartney, telah menetapkan koreksi terhadap arah yang dianggapnya keliru terkait isu gender dan ideologi iklim. Puncaknya, AS secara tegas menolak dan mengecam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan SDGs, serta menyatakan tidak akan lagi mendukungnya. Pernyataan ini dikutip dari laporan ESG Today dan menjadi bagian dari rangkaian penarikan diri AS dari berbagai perjanjian internasional yang berkaitan dengan iklim dan keberlanjutan di bawah kepemimpinan Trump. Sebelumnya, AS telah menarik diri dari upaya pendanaan iklim utama dan keluar dari Perjanjian Paris, menunjukkan pola konsisten dalam kebijakan eksternal yang mengutamakan kepentingan domestik di atas kerja sama multilateral.
Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Sebuah Gambaran Singkat
SDGs merupakan sebuah agenda pembangunan global yang komprehensif dan ambisius, yang disepakati oleh seluruh negara anggota PBB pada tahun 2015. Agenda ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan damai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip universal, integrasi, dan inklusif menjadi dasar dari SDGs, dengan komitmen untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun yang tertinggal (“no one left behind”).
SDGs terdiri dari 17 tujuan utama dengan 169 target spesifik yang harus dicapai pada tahun 2030. Tujuan-tujuan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan manusia dan planet, mulai dari pengentasan kemiskinan dan kelaparan hingga penanganan perubahan iklim dan perlindungan ekosistem. Berikut rincian 17 tujuan SDGs:
- Tanpa Kemiskinan (No Poverty)
- Tanpa Kelaparan (Zero Hunger)
- Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-being)
- Pendidikan Berkualitas (Quality Education)
- Kesetaraan Gender (Gender Equality)
- Air Bersih dan Sanitasi Layak (Clean Water and Sanitation)
- Energi Bersih dan Terjangkau (Affordable and Clean Energy)
- Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Decent Work and Economic Growth)
- Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (Industry, Innovation and Infrastructure)
- Berkurangnya Kesenjangan (Reduced Inequalities)
- Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan (Sustainable Cities and Communities)
- Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (Responsible Consumption and Production)
- Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action)
- Ekosistem Lautan (Life Below Water)
- Ekosistem Daratan (Life On Land)
- Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (Peace, Justice and Strong Institutions)
- Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (Partnerships for the Goals)
Penolakan AS terhadap SDGs bukan hanya sebuah langkah mundur bagi upaya global dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen Amerika Serikat terhadap kerja sama internasional dan tanggung jawab global dalam menghadapi tantangan-tantangan bersama yang dihadapi oleh umat manusia dan planet Bumi. Keputusan ini berpotensi menghambat kemajuan dalam berbagai bidang penting dan memperumit upaya-upaya untuk mengatasi masalah global yang kompleks.