Hukum Kotoran Cicak dalam Perspektif Fiqih Islam: Pandangan Ulama dan Cara Pensuciannya
Hukum Kotoran Cicak dalam Perspektif Fiqih Islam: Pandangan Ulama dan Cara Pensuciannya
Cicak, reptil kecil yang sering ditemukan di rumah, kehadirannya kerap menimbulkan pertanyaan terkait kesucian dalam Islam. Kotoran cicak, meskipun terkesan remeh, menimbulkan perdebatan fikih mengenai status najisnya. Berbagai pandangan ulama dan referensi kitab fikih memberikan pemahaman yang beragam, namun pada akhirnya mengarah pada prinsip kehati-hatian dan kemudahan dalam mensucikan diri.
Terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan status najis kotoran cicak. Sebagian ulama mengategorikannya sebagai najis mutawassithah (najis sedang), sejalan dengan pendapat yang terdapat dalam buku 'Shalat yang Sempurna' karya R. Maftuh Ahmad. Kategorisasi ini menempatkan kotoran cicak sejajar dengan najis-najis lain seperti air kencing anak perempuan, air kencing orang dewasa, bangkai, dan kotoran manusia serta hewan. Buku 'Fikih' karya Kholidatuz Zuhriyah dan Machnunah Ani Zulfah, MPdI, juga mendukung pendapat ini, menekankan perlunya pensucian jika terkena kotoran cicak.
Namun, pandangan lain dikemukakan oleh Buya Yahya melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV. Beliau menekankan pentingnya keyakinan dan pemahaman masing-masing individu Muslim. Jika ada keraguan mengenai kesucian setelah terkena kotoran cicak, Buya Yahya menyarankan untuk menghindari asumsi najis. Beliau mencontohkan, jika kotoran cicak masuk ke dalam air dan tidak mengubah warna maupun bau air tersebut, maka air tersebut tetap suci. Pendapat serupa juga ditemukan dalam buku '125 Masalah Thaharah' karya Muhammad Anis Sumaji, yang menyatakan bahwa kotoran cicak yang tidak mengubah warna dan bau air tidak dianggap najis.
Cara Mensucikan Najis Kotoran Cicak
Proses pensucian dari najis kotoran cicak, mengingat kategorisasinya sebagai najis ringan, relatif mudah. Mengacu pada 'Kitab Fikih Sehari-hari: 365 Pertanyaan Seputar Fikih untuk Semua Permasalahan dalam Keseharian' karya AR Shohibul Ulum, penyucian bergantung pada karakteristik najis. Jika najis masih terlihat, berbau, mengubah warna, atau rasa, maka harus dihilangkan sampai kembali ke kondisi semula. Untuk benda-benda yang berwarna, berbau, atau memiliki rasa, pencucian dengan air hingga hilang bau dan rasa diperlukan. Sebaliknya, jika najis tidak berbau, berwarna, atau berasa, cukup dengan menyiram air sekali pada area yang terkena.
Metode pensucian ini berlaku universal, tidak hanya untuk kotoran cicak, tetapi juga untuk najis lain seperti air kencing bayi, darah, muntahan, kotoran hewan, dan cairan tubuh. Penjelasan Syekh Ahmad Zainuddin dalam kitab Fathul Mu'in bi Syarhi Qurratil 'Ain bin Muhimmatid Din menegaskan, bahkan tanah yang terkena najis dan mengering, lalu disiram air hingga menggenang, akan suci meskipun air tidak terserap sepenuhnya, baik tanah tersebut keras maupun gembur.
Kesimpulannya, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai status najis kotoran cicak, prinsip kehati-hatian dan kemudahan dalam mensucikan diri tetap menjadi pedoman utama. Memahami berbagai perspektif ulama dan pedoman pensucian yang tepat akan membantu umat Muslim dalam menjalankan ibadah dengan tenang dan nyaman.