Permintaan THR oleh Pengurus RW Jembatan Lima: Tak Ada Unsur Pidana, Namun Tetap Diberi Pembinaan
Permintaan THR oleh Pengurus RW Jembatan Lima: Tak Ada Unsur Pidana, Namun Tetap Diberi Pembinaan
Kasus permintaan tunjangan hari raya (THR) oleh pengurus RW 02 Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, yang sempat viral di media sosial, telah diselidiki oleh pihak kepolisian. Hasil penyelidikan menunjukkan tidak ditemukannya unsur pidana dalam tindakan tersebut. Kapolsek Tambora, Kompol Kukuh Islami, menegaskan bahwa kekurangan unsur pemaksaan atau pemerasan menjadi dasar penyidik untuk tidak memproses kasus ini secara hukum. "Tidak ada laporan dari pihak yang merasa menjadi korban pemerasan. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa pengurus RW tidak menetapkan nominal tertentu dan hanya meminta sumbangan sukarela," ujar Kompol Kukuh Islami dalam keterangannya pada Jumat (14/3/2025).
Meskipun demikian, pihak kepolisian menekankan bahwa proses hukum akan tetap berjalan apabila ada laporan resmi dari korban yang merasa dipaksa atau diperas. Kompol Kukuh Islami menjelaskan, "Polisi hanya dapat memproses laporan jika ada korban yang secara jelas merasa dipaksa atau diperas." Sebagai langkah antisipatif dan untuk memberikan pembinaan, pihak kelurahan dan kecamatan telah memanggil pengurus RW tersebut. Camat Tambora telah berkoordinasi dengan Lurah Jembatan Lima untuk memberikan teguran dan arahan terkait tindakan yang dilakukan pengurus RW.
Surat edaran permintaan THR yang beredar di media sosial tersebut ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang sering melakukan aktivitas bongkar muat barang di wilayah RW 02. Surat tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat, terutama karena mencantumkan nominal yang disarankan sebesar Rp 1.000.000. Sekretaris RW 02, Febri, mengakui pembuatan surat tersebut dan menjelaskan bahwa nominal yang tertera bukanlah suatu kewajiban. Ia menyatakan bahwa angka tersebut merupakan acuan, mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya di mana perusahaan memberikan sumbangan yang bervariasi. "Ada nominalnya sebagai acuan, tapi bukan sebagai kewajiban. Kalau ditulis Rp 1 juta, kan namanya orang begitu kan kita nyari inian tertinggi. Entar mereka juga cuma ngasih Rp 200.000-Rp 300.000," ungkap Febri.
Selama tiga tahun terakhir, hasil sumbangan THR tersebut telah digunakan untuk kepentingan warga dan staf RW 02. Meskipun tindakan pengurus RW tersebut tidak melanggar hukum pidana, kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang etika dan transparansi dalam pengumpulan sumbangan. Ke depan, diharapkan adanya mekanisme yang lebih transparan dan terukur dalam pengumpulan dana semacam ini untuk menghindari kesalahpahaman dan kontroversi serupa.
Langkah pembinaan yang diberikan oleh pihak kelurahan dan kecamatan diharapkan dapat mencegah terulangnya kejadian serupa dan memastikan pengurus RW memahami batasan-batasan dalam menjalankan tugasnya. Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak terkait pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana masyarakat. Selain itu, kasus ini juga menggarisbawahi perlunya dialog yang lebih baik antara pengurus RW dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut agar tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan.
Kesimpulan: Meskipun tidak terdapat unsur pidana dalam permintaan THR oleh pengurus RW Jembatan Lima, kasus ini menyoroti perlunya peningkatan transparansi, etika, dan komunikasi yang baik antara pengurus RW dan masyarakat, khususnya pihak-pihak yang terkena imbas dari kebijakan yang diambil oleh pengurus RW. Pembinaan yang diberikan diharapkan dapat mencegah kejadian serupa di masa mendatang.