PLTA di Indonesia: Antara Transisi Energi dan Ancaman terhadap Masyarakat Adat dan Ekosistem Sungai

PLTA di Indonesia: Antara Transisi Energi dan Ancaman terhadap Masyarakat Adat dan Ekosistem Sungai

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Indonesia, yang didorong oleh target transisi energi dan pengurangan emisi karbon, menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat. Meskipun pemerintah menargetkan tambahan kapasitas listrik hingga 10,4 gigawatt dari PLTA hingga tahun 2030, menjadikan proyek ini sebagai program Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terbesar, realitas di lapangan menunjukkan dampak negatif yang signifikan. Data dari NUGAL Institute hingga Februari 2024 mencatat keberadaan 292 bendungan dan 162 PLTA yang telah beroperasi, sebuah angka yang memprihatinkan mengingat potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Merah Johansyah, Koordinator NUGAL Institute for Social and Ecological Studies, menyoroti klaim pemerintah bahwa PLTA merupakan solusi bersih untuk krisis iklim sebagai pernyataan yang menyesatkan. “PLTA bukanlah solusi bersih seperti yang diklaim pemerintah. Bendungan besar mengubah ekosistem sungai secara permanen, menyebabkan banjir di satu wilayah dan kekeringan di wilayah lain,” tegasnya dalam wawancara pada 14 Maret 2025. Lebih jauh, pembangunan PLTA seringkali menggusur masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan sungai, merampas mata pencaharian dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Keuntungan ekonomi dari proyek-proyek raksasa ini, menurut Merah, justru dinikmati oleh perusahaan besar, sementara masyarakat lokal menanggung beban kerugian yang signifikan.

Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah PLTA Mentarang Induk di Kalimantan Utara, dikelola oleh PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN). Dengan tinggi bendungan mencapai 325 meter dan luas genangan mencapai 22.604 hektar – hampir sama dengan luas negara Maladewa – proyek ini mengancam 10 desa dan lebih dari 700 keluarga yang akan kehilangan tempat tinggal. Lebih dari itu, ekosistem Sungai Mentarang-Tubu, yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar, akan mengalami kerusakan permanen. Hilangnya akses terhadap air bersih, sumber daya perikanan, dan hutan untuk berburu akan berdampak sangat besar terhadap kehidupan masyarakat adat.

Dampak terhadap keanekaragaman hayati juga menjadi perhatian serius. Merah menjelaskan, “Kami berbicara tentang spesies langka yang akan kehilangan habitatnya,” termasuk babi hutan, trenggiling, dan berbagai jenis ikan khas Sungai Mentarang-Tubu. Tanaman obat-obatan tradisional dan sumber pangan seperti sagu hutan juga akan hilang. Meskipun PLTA Mentarang Induk disebut sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan memasok listrik ke Kawasan Industri Hijau (KIHI) di Bulungan dan Ibu Kota Nusantara (IKN), kenyataannya, masyarakat lokal justru menjadi pihak yang paling dirugikan. “Energi hijau ini sebenarnya bukan untuk kita, tetapi untuk industri besar yang mengeksploitasi sumber daya alam,” tegas Merah.

Bukan hanya Kalimantan, Papua juga menjadi sasaran proyek PLTA skala besar, seperti PLTA Memberamo 1 (6,6 GW) dan PLTA Memberamo 2 (955 MW). Proyek-proyek lain yang menuai kritik antara lain PLTA Kayan (9.000 MW), PLTA Bahau (1.300 MW), PLTA Peusangan di Aceh (1.060 MW), dan PLTA Sembakung di Kalimantan Utara (250 MW). Dampak kumulatif dari proyek-proyek ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di hulu sungai, tetapi juga di hilir, meningkatkan risiko banjir, kekeringan, dan intrusi air laut. Dalam peringatan Hari Aksi Internasional Melawan Bendungan untuk Sungai, Air, dan Kehidupan pada 14 Maret 2025, kelompok masyarakat sipil mendesak penghentian proyek-proyek bendungan yang merusak dan memaksa warga beradaptasi dengan risiko lingkungan baru. Mereka menegaskan, transisi energi harus berpihak pada masyarakat dan berakar pada hak-hak mereka, bukan proyek korporasi besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak.