RUU TNI Menuai Kritik: Potensi Kemunduran Reformasi dan Intervensi Sipil
RUU TNI Menuai Kritik Keras dari Masyarakat Sipil
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada Selasa (4/3/2025) untuk membahas revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rapat yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil ini diwarnai dengan kritik tajam terhadap sejumlah pasal dalam RUU tersebut. Para pakar dan aktivis menilai beberapa poin dalam revisi ini berpotensi menghambat reformasi TNI dan bahkan menimbulkan kemunduran dalam profesionalisme institusi tersebut.
Al Araf, peneliti dari Imparsial, menyoroti pasal-pasal yang dianggap bermasalah. Ia menekankan bahwa tujuan pembentukan undang-undang seharusnya selalu mengarah pada perbaikan, bukan kemunduran. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pasal-pasal yang dinilai akan menghambat kemajuan reformasi TNI dan profesionalisme anggotanya. Kecemasan ini didasari oleh pengamatan atas isi RUU yang telah diterima beberapa waktu lalu.
Ancaman terhadap Birokrasi dan Merit Sistem
Salah satu poin yang paling disorot adalah terkait jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Araf berpendapat hal ini akan mengganggu birokrasi negara dan melemahkan sistem meritokrasi. Ia mencontohkan bagaimana karir Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhambat karena persaingan dengan perwira aktif TNI dan Polri dalam perebutan jabatan strategis. “Banyak teman saya di PNS yang telah berkarir panjang, bahkan menempuh pendidikan di luar negeri, namun terhalang untuk mencapai posisi direktur jenderal karena adanya persaingan dengan militer dan polisi aktif,” ungkap Araf. Kondisi ini, menurutnya, merupakan pelanggaran hukum dan akan mengikis profesionalisme baik di kalangan sipil maupun militer.
Masa Pensiun TNI dan Implikasinya
Ismail Hasani, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, turut memberikan catatan kritis terhadap rencana penambahan masa pensiun TNI. Ia menekankan pentingnya analisis cost and benefit yang menyeluruh sebelum mengambil keputusan tersebut. “Perlu dipertimbangkan secara matang dampak penambahan usia pensiun ini, termasuk proses transisi yang diperlukan,” ujarnya. Ismail membandingkan kondisi politisi yang dianggap masih produktif di usia 62 tahun dengan prajurit TNI yang mungkin membutuhkan kriteria fisik dan mental yang berbeda. Selain itu, ketersediaan anggaran juga menjadi pertimbangan krusial agar tidak mengganggu stabilitas politik anggaran negara. Ia menegaskan pentingnya transparansi dan perhitungan yang matang dalam pengambilan kebijakan ini.
Potensi Konflik dan Batasan Kewenangan
Ismail juga menyoroti pentingnya menjaga batas kewenangan antara TNI dan sipil dalam kebijakan publik. Ia mengingatkan akan potensi konflik yang dapat terjadi jika terjadi tumpang tindih kewenangan, seperti yang pernah terjadi antara Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI di masa lalu. Sebagai contoh, ia menyinggung adanya ketegangan antara mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dengan Panglima TNI pada masa jabatannya, yang diakibatkan oleh perbedaan pandangan dalam kebijakan pertahanan. Hal ini menunjukkan perlunya pemisahan yang jelas antara kebijakan keamanan yang menjadi ranah TNI dan kebijakan publik yang seharusnya dijalankan oleh sipil.
Kesimpulannya, RDPU ini menyingkap kekhawatiran mendalam dari masyarakat sipil terhadap sejumlah pasal dalam RUU TNI. Kritik yang disampaikan menyoroti potensi kemunduran reformasi TNI, gangguan terhadap birokrasi dan merit sistem, serta perlunya kejelasan pembagian kewenangan antara TNI dan sipil dalam pengambilan kebijakan. Perdebatan ini menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi dan pertimbangan yang matang dalam menyusun aturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.