Praktik Ekstori Ormas Menggerus Investasi dan Keunggulan Kompetitif Indonesia

Praktik Ekstori Ormas Menggerus Investasi dan Keunggulan Kompetitif Indonesia

Industri di Indonesia menghadapi tantangan serius berupa praktik pemerasan yang dilakukan oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Perilaku ini, yang kerap berupa permintaan tunjangan hari raya (THR) menjelang Lebaran atau pungutan keamanan secara paksa, telah menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif dan mengancam daya saing Indonesia di kancah global. Keresahan ini disampaikan oleh para pelaku usaha dari berbagai sektor, termasuk industri mebel dan kawasan industri, yang mengungkapkan kerugian finansial hingga ratusan triliun rupiah akibat praktik-praktik tersebut.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, secara tegas menyatakan bahwa aksi premanisme berkedok ormas ini menghambat pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberantas praktik-praktik tersebut untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan menarik bagi investor domestik maupun asing. “Aksi premanisme (ormas) atau sebagainya itu tugas pemerintah. Kalau kita mau (ekonomi) maju, ya harus dibersihkan,” tegas Abdul. Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam pelaku usaha terhadap situasi yang semakin menekan daya saing industri nasional.

Sentimen serupa juga diungkapkan oleh Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar. Dalam sebuah dialog industri nasional, Sanny memaparkan kerugian yang sangat besar akibat aktivitas ormas yang meresahkan. Kerugian tersebut tidak hanya mencakup biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi tuntutan ormas, tetapi juga mencakup potensi investasi yang hilang karena investor mengurungkan niat untuk menanamkan modal di Indonesia. “Itu sih udah pasti (mengalami kerugian). Menurut saya itu bisa dikatakan, sudah kalau dihitung semuanya ya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang enggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan triliun juga tuh. Ratusan triliun,” ungkap Sanny.

Praktik-praktik yang dikeluhkan mencakup beragam bentuk pungutan, mulai dari permintaan THR yang disampaikan melalui surat resmi berkop ormas hingga permintaan pengadaan barang dan jasa yang dipaksakan kepada perusahaan. Bahkan, permintaan yang mengatasnamakan kepentingan putra daerah juga kerap terjadi, menambah beban bagi investor yang ingin menjalankan usaha secara legal dan transparan. Sanny menyebutkan bahwa praktik ini tersebar di berbagai kawasan industri di Indonesia, seperti Karawang, Bekasi, Jawa Timur, dan Batam.

Direktur Legal and External Affairs Chandra Asri Group, Edi Rivai, turut menyuarakan keprihatinan dan menyerukan penegakan hukum yang tegas. Ia berharap adanya kepastian hukum dan keamanan usaha agar perusahaan dapat beroperasi tanpa gangguan. “Pada intinya yang kami harapkan adalah kepastian hukum, kepastian berusaha, sehingga kegiatan tidak terganggu (dengan ormas minta THR),” ujar Edi. Edi juga menambahkan bahwa perusahaan sebenarnya telah secara aktif memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar, seperti memprioritaskan tenaga kerja lokal dan memberdayakan pengusaha lokal sebagai mitra usaha. Namun, praktik-praktik pemerasan oleh oknum ormas ini menghambat upaya tersebut dan menciptakan ketidakpastian yang merugikan semua pihak.

Kesimpulannya, praktik pemerasan oleh oknum ormas dan LSM merupakan ancaman serius bagi iklim investasi dan daya saing Indonesia. Permasalahan ini bukan hanya sekedar kerugian finansial, tetapi juga berdampak pada citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang aman dan kondusif. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas dan terpadu untuk memberantas praktik ini, termasuk penegakan hukum yang konsisten dan perlindungan bagi pelaku usaha.

  • Kawasan industri yang terdampak: Karawang, Bekasi, Jawa Timur, Batam.
  • Bentuk pemerasan: Permintaan THR, pungutan keamanan, permintaan pengadaan barang/jasa, pengatasnamaan putra daerah.
  • Dampak: Kerugian finansial hingga ratusan triliun, hilangnya potensi investasi, terhambatnya pertumbuhan ekonomi, penurunan daya saing Indonesia.