Sidang Hasto Kristiyanto: Dakwaan KPK Dipertanyakan, Tim Hukum Soroti Inkonsistensi dan Kesalahan Teknis
Sidang Perdana Hasto Kristiyanto: Dakwaan KPK Dipertanyakan, Tim Hukum Soroti Inkonsistensi dan Kesalahan Teknis
Sidang perdana Sekretaris Jenderal DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto, terkait kasus dugaan menghalangi penyidikan kasus suap Harun Masiku digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (14/3/2025). Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan yang menuduh Hasto telah secara sengaja merintangi proses penyidikan kasus suap pergantian antar waktu (PAW) Anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku. Dakwaan tersebut antara lain menyebutkan perintah Hasto kepada Nur Hasan untuk meminta Harun Masiku menyembunyikan ponselnya dan kemudian bersembunyi di kantor DPP PDI-P guna menghindari penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jaksa mendalilkan bahwa tindakan Hasto tersebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 65 ayat (1) KUHAP. Perbuatan Hasto, menurut dakwaan, meliputi upaya menghalangi penyelidikan atas keberadaan Harun Masiku pasca-penangkapan Wahyu Setiawan pada 8 Januari 2020. Setelah penangkapan tersebut, Harun Masiku, menurut dakwaan, bersembunyi di berbagai lokasi, termasuk Hotel Sofyan Cikini dan PTIK, atas arahan Hasto Kristiyanto. Keberadaan Harun Masiku di lokasi-lokasi tersebut, serta upaya untuk menyembunyikan ponselnya, diklaim JPU sebagai bukti kuat keterlibatan Hasto dalam upaya perintangan penyidikan.
Namun, tim kuasa hukum Hasto, yang dipimpin oleh Febri Diansyah, langsung menyoroti sejumlah kelemahan dalam dakwaan yang dibacakan. Febri Diansyah, mantan Juru Bicara KPK, secara tegas mempertanyakan sejumlah poin yang dinilai janggal dan berpotensi merugikan kliennya. Salah satu poin utama yang dikritik adalah kesalahan penulisan pasal dalam dakwaan. Tim hukum menemukan kesalahan penulisan pasal, yang seharusnya merujuk pada Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun malah tertulis Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perbedaan ini, menurut Febri, sangat substansial karena memiliki implikasi hukum yang berbeda, khususnya terkait hak terdakwa untuk menghadirkan saksi dan ahli.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum juga mengkritik inkonsistensi dalam materi dakwaan terkait sumber uang suap sebesar Rp 400 juta yang diberikan Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan. Febri menjelaskan bahwa dakwaan yang dibacakan oleh JPU merupakan gabungan dari beberapa surat dakwaan dalam kasus yang berbeda, dan terdapat ketidaksesuaian keterangan antara surat dakwaan yang satu dengan lainnya. Dakwaan tersebut, menurut Febri, seolah-olah menghubungkan sumber uang suap tersebut kepada Hasto Kristiyanto, meskipun dalam dakwaan lain, sumber uang tersebut telah dijelaskan berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai upaya KPK dalam menyusun dakwaan, dan apakah terdapat upaya untuk memaksakan keterlibatan Hasto dalam kasus ini.
Kesimpulannya, sidang perdana Hasto Kristiyanto telah menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait substansi dan prosedur hukum yang diterapkan oleh JPU. Kesalahan teknis dalam penulisan pasal dan inkonsistensi dalam materi dakwaan menjadi sorotan utama dari tim kuasa hukum, yang mempertanyakan kredibilitas dan objektivitas proses hukum yang sedang berjalan. Persidangan selanjutnya akan menjadi sangat menentukan untuk mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya dan menentukan nasib Hasto Kristiyanto dalam kasus ini. Perdebatan hukum yang muncul ini menunjukkan kompleksitas kasus dan pentingnya memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.