Penolakan Band Sukatani Jadi Duta Polri: Hak Warga Negara, Intimidasi Dipertanyakan

Penolakan Band Sukatani Jadi Duta Polri: Hak Warga Negara, Intimidasi Dipertanyakan

Keputusan Band Sukatani asal Purbalingga, Jawa Tengah, untuk menolak tawaran menjadi Duta Polri telah menimbulkan perdebatan publik. Kabareskrim Polri, Komjen Pol Wahyu Widada, menanggapi penolakan tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan hak konstitusional warga negara dan sepenuhnya dihormati oleh institusi kepolisian. Pernyataan ini disampaikan Wahyu saat ditemui di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Jakarta, Selasa (4/3/2025).

"Keputusan tersebut murni hak warga negara, dan kami menghormati pilihan tersebut," tegas Wahyu. Pernyataan ini muncul setelah band yang dikenal dengan lagu kontroversial 'Bayar Bayar Bayar' tersebut menarik lagu tersebut dari berbagai platform musik digital, memicu spekulasi publik dan pernyataan terbuka band tersebut mengenai dugaan intimidasi dari pihak kepolisian.

Band beraliran punk ini, yang sebelumnya menarik perhatian publik dengan lagu tersebut dan kemudian menariknya dari platform digital, mengklaim mengalami intimidasi yang menyebabkan mereka meminta maaf kepada Polri melalui sebuah video pernyataan. Namun, Kabareskrim menyatakan ketidaktahuannya mengenai dugaan intimidasi tersebut. "Saya tidak mengetahui adanya intimidasi," ujarnya singkat.

Pernyataan Kabareskrim tersebut dipertanyakan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Hermansyah Dulaimi. Hermansyah mengungkapkan bahwa persepsi publik mengenai adanya intimidasi terhadap Band Sukatani cukup luas.

"Apa yang disampaikan oleh Band Sukatani, secara umum memang menjadi penilaian banyak pihak," kata Hermansyah. Ia juga menyoroti kasus pemecatan salah satu vokalis band tersebut yang juga berprofesi sebagai guru. Hermansyah mempertanyakan tindakan pihak sekolah yang menurutnya seharusnya tidak tunduk pada tekanan pihak manapun.

"Informasi yang saya terima, status keguruan vokalis tersebut telah dikembalikan. Namun, saya berpendapat bahwa pihak sekolah tidak seharusnya tunduk pada tekanan. Apa kewenangan polisi hingga bisa menekan pihak sekolah?" tanya Hermansyah mempertanyakan dugaan keterlibatan pihak kepolisian dalam kasus tersebut.

Lebih lanjut, Hermansyah menilai, jika memang terbukti adanya intimidasi oleh oknum kepolisian, tindakan tersebut dinilai berlebihan dan membutuhkan introspeksi internal dari institusi kepolisian. "Tindakan seperti itu berlebihan dan tidak perlu terjadi. Kepolisian seharusnya melakukan introspeksi diri karena persepsi publik terhadap peristiwa ini perlu menjadi bahan evaluasi dan perbaikan ke depan," tegas Hermansyah. Pernyataan ini menjadi sorotan publik mengingat citra positif Polri yang terus diupayakan.

Kasus ini menghadirkan dilema antara hak warga negara untuk berekspresi dan tugas kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Pernyataan kontradiktif dari pihak kepolisian dan pengakuan publik atas dugaan intimidasi membuka ruang bagi diskusi lebih luas tentang etika penegakan hukum dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Bagaimana mekanisme perlindungan terhadap artis dan seniman dari potensi intimidasi perlu menjadi perhatian serius agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Proses klarifikasi yang transparan dan akuntabel dari pihak kepolisian sangat dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan publik.