Kualitas Udara Indonesia Membaik, Namun Tetap Jauh dari Standar WHO
Kualitas Udara Indonesia Membaik, Namun Tetap Jauh dari Standar WHO
Laporan terbaru IQAir, 2024 World Air Quality Report, menunjukkan penurunan kadar polutan PM2.5 di Indonesia sepanjang tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh di atas ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyoroti tantangan yang signifikan dalam upaya peningkatan kualitas udara nasional. Penurunan konsentrasi PM2.5 sebesar 4 persen, dari rata-rata 37,1 mikrogram per meter kubik pada 2023 menjadi 35,5 mikrogram per meter kubik pada 2024, memberikan secercah harapan, namun tetap menunjukkan perlunya strategi yang lebih komprehensif untuk mencapai standar udara bersih global.
PM2.5, partikel udara berukuran sangat kecil yang berbahaya bagi kesehatan, tetap menjadi perhatian utama. Rata-rata konsentrasi tahunan PM2.5 di Indonesia pada 2024 masih sekitar tujuh kali lipat lebih tinggi dari standar WHO yang merekomendasikan maksimal 5 mikrogram per meter kubik per tahun dan 15 mikrogram per meter kubik dalam 24 jam. Kondisi ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Studi epidemiologi lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji dampak spesifik dari paparan PM2.5 pada tingkat konsentrasi yang tercatat di Indonesia.
Laporan IQAir juga mengidentifikasi delapan wilayah di Indonesia dengan tingkat polusi PM2.5 tertinggi pada tahun 2024. Wilayah-wilayah tersebut, yang sebagian besar berada di kawasan Jabodetabek, menunjukkan konsentrasi PM2.5 yang sangat mengkhawatirkan:
- Tangerang Selatan: 61,1 mikrogram per meter kubik
- Tangerang: 55,6 mikrogram per meter kubik
- Cikarang: 52,8 mikrogram per meter kubik
- Depok: 50,3 mikrogram per meter kubik
- Bekasi: 42,5 mikrogram per meter kubik
- Serpong: 42,4 mikrogram per meter kubik
- Jakarta: 41,7 mikrogram per meter kubik
- Bandung: 40 mikrogram per meter kubik
Tingginya konsentrasi PM2.5 di Indonesia dikaitkan dengan beberapa faktor, terutama emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang menyumbang dua pertiga kebutuhan listrik nasional. Pertumbuhan pesat permintaan listrik akibat urbanisasi dan industrialisasi semakin memperparah masalah ini. Data dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan peningkatan kapasitas PLTU batu bara sebesar 15 persen antara Juli 2023 dan 2024, sebagian besar berupa PLTU captive yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Selain PLTU batu bara, sumber emisi lainnya meliputi transportasi dan pembakaran biomassa. Upaya mengurangi emisi dari sektor-sektor ini membutuhkan langkah-langkah kebijakan yang komprehensif dan kolaboratif antar berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat.
Kesimpulannya, meskipun terdapat penurunan kadar PM2.5 di Indonesia pada tahun 2024, kualitas udara masih jauh dari standar WHO. Perlu adanya komitmen yang kuat dan strategi yang terintegrasi untuk mengatasi masalah polusi udara, termasuk transisi energi menuju sumber daya yang lebih bersih, penerapan standar emisi yang lebih ketat pada sektor transportasi dan industri, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya udara bersih. Pemantauan kualitas udara secara berkala dan transparan juga sangat krusial untuk memastikan efektivitas kebijakan dan mendorong perbaikan berkelanjutan.