Sistem Perawatan Kendaraan Jepang: Studi Kasus Pencegahan Rem Blong
Sistem Perawatan Kendaraan Jepang: Studi Kasus Pencegahan Rem Blong
Kecelakaan lalu lintas akibat rem blong, sebuah masalah yang masih menjadi perhatian serius di banyak negara termasuk Indonesia, nyaris tidak ditemukan di Jepang. Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari sistem perawatan kendaraan yang terstruktur dan sangat ketat diterapkan di Negeri Sakura. Bowo Kristianto, pimpinan Japan Indonesia Driving School (JIDS), memberikan pencerahan mengenai hal ini. Menurutnya, minimnya kasus rem blong di Jepang berakar pada budaya perawatan preventif yang sangat diprioritaskan, bahkan hingga pada penggantian armada secara berkala.
Salah satu kunci utama adalah pemeriksaan berkala yang wajib dilakukan. Bukan hanya bagi kendaraan umum, tetapi juga kendaraan pribadi menjalani inspeksi rutin. Bowo menyatakan, "Untuk kendaraan umum, pemeriksaan dilakukan setiap tiga bulan. Sementara untuk kendaraan pribadi, meski frekuensinya berbeda, tetap ada jadwal pemeriksaan yang direkomendasikan dan umumnya dipatuhi." Hal ini memastikan deteksi dini terhadap potensi kerusakan, termasuk pada sistem pengereman, sehingga mencegah terjadinya rem blong sebelum membahayakan pengguna jalan. Sistem ini secara efektif mengurangi risiko kecelakaan yang disebabkan oleh komponen rem yang aus atau rusak.
Lebih jauh lagi, Bowo menjelaskan peran penting perusahaan dalam menjaga kondisi kendaraan. Setiap perusahaan transportasi di Jepang, menurut pengamatannya, memiliki tim inspeksi internal yang bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan menyeluruh. Pengecekan ini mencakup berbagai komponen, mulai dari kondisi ban hingga bagian-bagian yang membutuhkan perbaikan. Bukan hanya sebatas perbaikan, tetapi juga penggantian komponen secara proaktif jika diperlukan, demi memastikan keselamatan dan operasional kendaraan yang optimal.
Sistem pergantian armada juga menjadi faktor krusial dalam pencegahan rem blong di Jepang. Terdapat aturan yang mengatur masa pakai kendaraan, khususnya untuk armada transportasi umum seperti bus dan truk. Bowo memberikan contoh, "Ada perusahaan yang menetapkan usia pakai maksimal 10 tahun, bahkan ada yang hanya 15 tahun. Kendaraan tersebut harus diganti dengan unit baru, meskipun masih berfungsi dengan baik." Kebijakan ini, meskipun terlihat mahal, menunjukkan komitmen Jepang yang sangat tinggi terhadap keselamatan dan pencegahan kecelakaan.
Pengalaman Bowo mengunjungi beberapa perusahaan transportasi di Jepang semakin memperkuat argumen ini. Ia menyaksikan secara langsung kondisi armada yang terawat dengan baik. "Saya mengunjungi beberapa pool kendaraan, dan saya hampir tidak menemukan bus atau truk yang sudah tua atau dalam kondisi rusak. Semua kendaraan siap beroperasi," ujarnya. Kondisi ini menunjukkan betapa seriusnya Jepang dalam menerapkan sistem perawatan dan penggantian armada yang terintegrasi.
Kesimpulannya, minimnya kasus rem blong di Jepang bukan hanya karena kualitas komponen kendaraan, tetapi lebih kepada sistem perawatan dan penggantian armada yang komprehensif dan disiplin. Sistem ini, yang mengutamakan pencegahan daripada pengobatan, patut menjadi contoh dan studi kasus bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang masih bergumul dengan masalah rem blong dan kecelakaan lalu lintas yang diakibatkannya.