RUU KUHAP Batasi Kewenangan Jaksa: Implikasi terhadap Penanganan Kasus Korupsi

RUU KUHAP Batasi Kewenangan Jaksa: Implikasi terhadap Penanganan Kasus Korupsi

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah digodok DPR menimbulkan pertanyaan besar terkait kewenangan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi. Pasal 6 draf RUU KUHAP yang mengatur tentang penyidik, secara spesifik membatasi peran jaksa hanya sebagai penyidik pada kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap efektivitas penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Pasal 6 ayat (1) draf RUU KUHAP menyebutkan penyidik terdiri atas:

  • Penyidik Polri;
  • Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
  • Penyidik Tertentu.

Ayat (2) menegaskan bahwa penyidik Polri merupakan penyidik utama dengan kewenangan menyelidiki semua tindak pidana. Sementara, penjelasan lebih lanjut menjabarkan “Penyidik Tertentu” mencakup penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik TNI AL dalam bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran di zona ekonomi eksklusif, dan jaksa hanya pada kasus pelanggaran HAM berat. Ketiadaan kewenangan penyidikan bagi jaksa dalam kasus korupsi dalam RUU ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana mekanisme penegakan hukum korupsi akan dijalankan ke depannya.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa penyusunan RUU KUHAP ditargetkan rampung pada 21 Maret 2025. Habiburokhman mengungkapkan target berlakunya KUHAP baru bersamaan dengan KUHP pada 1 Januari 2026. Ia menekankan pentingnya sinkronisasi KUHAP sebagai hukum formil dengan KUHP sebagai hukum materiil. Proses penyusunan RUU ini, menurut Habiburokhman, melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk menyerap aspirasi, termasuk usulan perbaikan sistem penahanan dan mekanisme praperadilan yang lebih aktif. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada penjelasan resmi terkait implikasi pembatasan kewenangan jaksa dalam penanganan kasus korupsi yang tertuang dalam RUU KUHAP ini. Kejelasan mekanisme kerja sama antar lembaga penegak hukum, khususnya antara Kejaksaan Agung dan KPK, dalam menangani kasus korupsi menjadi krusial dan perlu segera dijelaskan.

Pembatasan kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP ini berpotensi menimbulkan beberapa permasalahan. Potensi tumpang tindih kewenangan, lambatnya proses penyidikan, dan potensi penurunan efektivitas pemberantasan korupsi menjadi beberapa kekhawatiran yang muncul. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan lebih rinci dari pemerintah dan DPR terkait mekanisme dan strategi yang akan diterapkan untuk mengatasi potensi permasalahan tersebut, dan memastikan bahwa pemberantasan korupsi tetap berjalan efektif. Peran Kejaksaan Agung dalam sistem peradilan pidana tetap perlu dijaga agar terwujud penegakan hukum yang berimbang dan berkeadilan.

Kejelasan mengenai peran jaksa dalam penanganan kasus korupsi di tengah revisi KUHAP sangat penting untuk diungkap. Publik perlu mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai mekanisme kerja sama antar lembaga penegak hukum dan langkah-langkah yang akan diambil untuk memastikan efektivitas penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Ketiadaan kejelasan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat proses penegakan hukum yang adil dan transparan.