Kepastian Hukum dan Satu Peta Hutan: Tantangan Penertiban Lahan Sawit di Indonesia
Kepastian Hukum dan Satu Peta Hutan: Tantangan Penertiban Lahan Sawit di Indonesia
Industri kelapa sawit Indonesia, penyumbang devisa negara yang signifikan, tengah menghadapi tantangan kompleks terkait penertiban lahan. Di satu sisi, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional tak dapat dipandang sebelah mata. Data Kementerian Keuangan mencatat nilai kapasitas produksi nasional industri kelapa sawit pada 2023 mencapai Rp 729 triliun, dengan kontribusi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 88 triliun yang terdiri dari:
- Pajak: Rp 50,2 triliun
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Rp 32,4 triliun
- Bea Keluar: Rp 6,1 triliun
Sektor ini juga menyerap tenaga kerja yang sangat besar, melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Namun, di sisi lain, permasalahan legalitas dan tata kelola lahan sawit masih menjadi isu krusial yang membutuhkan penyelesaian segera. Hal ini menuntut pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.
Kepastian Hukum Bagi Pelaku Usaha
Eugenia Mardanugraha, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menekankan pentingnya kepastian hukum bagi pelaku industri kelapa sawit yang telah memenuhi kewajiban sesuai Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja. Ia mendesak percepatan penerbitan surat izin pelepasan kawasan hutan untuk menjaga iklim investasi yang kondusif. Menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tidak boleh mengabaikan Undang-Undang Cipta Kerja yang memiliki hierarki lebih tinggi. Eugenia juga menyarankan penyederhanaan prosedur pengajuan izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Meskipun mendukung pengetatan izin pembukaan lahan sawit baru, Eugenia menyarankan pemerintah memprioritaskan penertiban izin lahan sawit yang sudah ada sebelum memberikan izin baru. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan transparansi dan kepastian hukum di sektor ini.
Implementasi Kebijakan Satu Peta
Di sisi lain, Yanto Santosa, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), mengajukan perlunya implementasi yang tegas terhadap kebijakan satu peta (one map policy) sebagai solusi untuk mengatasi tumpang tindih data kepemilikan lahan. Ia menyoroti perbedaan data kepemilikan lahan antar kementerian yang menjadi kendala utama dalam penertiban lahan sawit. Menurut Yanto, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 harus menggunakan peta kawasan hutan yang telah dikukuhkan sebagai acuan utama dalam menjalankan tugasnya.
Satgas ini memiliki tugas penting, antara lain:
- Menagih denda dari pelanggar penggunaan kawasan hutan.
- Mengambil kembali kawasan hutan yang disalahgunakan.
- Memulihkan aset di kawasan hutan agar sesuai dengan fungsinya.
Daftar 436 perusahaan sawit di kawasan hutan, yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025, menjadi dasar bagi Satgas dalam menjalankan tugas penertiban. Keberhasilan penertiban lahan sawit ini sangat bergantung pada kolaborasi antar kementerian dan lembaga, serta komitmen pemerintah dalam menegakkan aturan dan memberikan kepastian hukum.
Kesimpulannya, penertiban lahan sawit di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek hukum, ekonomi, dan lingkungan. Kepastian hukum bagi pelaku usaha yang patuh, implementasi kebijakan satu peta yang konsisten, serta penegakan hukum yang tegas merupakan kunci keberhasilan dalam menyelesaikan permasalahan ini dan menciptakan sektor kelapa sawit yang berkelanjutan.