RUU KUHAP: Peran Jaksa Terbatas pada Kasus HAM Berat, Potensi Implikasi pada Penanganan Korupsi

RUU KUHAP: Peran Jaksa Terbatas pada Kasus HAM Berat, Potensi Implikasi pada Penanganan Korupsi

Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang beredar menimbulkan perdebatan, khususnya terkait pembatasan peran jaksa sebagai penyidik. Draf tersebut secara eksplisit hanya memberikan kewenangan penyidikan kepada jaksa pada kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai implikasi kebijakan tersebut terhadap penanganan kasus korupsi yang selama ini juga ditangani oleh kejaksaan.

Pasal 6 draf RUU KUHAP mengatur tentang kategori penyidik, membagi mereka menjadi tiga:

  • Penyidik Polri: Sebagai penyidik utama dengan kewenangan penuh dalam menyelidiki semua jenis tindak pidana.
  • PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil): Dengan kewenangan penyidikan sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.
  • Penyidik Tertentu: Kategori ini mencakup penyidik KPK, penyidik TNI AL (khusus bidang kelautan dan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif), dan jaksa (hanya untuk kasus pelanggaran HAM berat).

Penjelasan lebih lanjut dalam draf tersebut menegaskan bahwa hanya jaksa yang menangani kasus pelanggaran HAM berat yang dikategorikan sebagai 'Penyidik Tertentu'. Ketiadaan penyebutan kewenangan penyidikan bagi jaksa dalam kasus korupsi memicu kekhawatiran akan perubahan signifikan dalam mekanisme penegakan hukum di Indonesia. Hal ini mengingat peran penting Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus-kasus korupsi skala besar.

RUU KUHAP saat ini telah menjadi usul inisiatif DPR dan ditargetkan rampung pada masa sidang yang berakhir 21 Maret mendatang. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan komitmen untuk menyelesaikan penyusunan draf dan naskah akademik dalam waktu tersebut. Target implementasi KUHAP baru adalah bersamaan dengan berlakunya KUHP pada 1 Januari 2026. Habiburokhman menekankan pentingnya sinkronisasi antara KUHAP sebagai hukum formil dan KUHP sebagai hukum materiil. Lebih lanjut, ia juga memastikan adanya proses penyerapan aspirasi publik, termasuk usulan perbaikan sistem penahanan dan mekanisme praperadilan aktif untuk mencegah penahanan sewenang-wenang.

Perubahan yang signifikan dalam peran jaksa dalam draf RUU KUHAP ini memerlukan kajian mendalam dan diskusi publik yang luas. Belum jelasnya mekanisme penanganan korupsi jika jaksa tidak lagi berwenang sebagai penyidik utama dalam kasus ini menjadi perhatian utama. Apakah kewenangan akan dialihkan sepenuhnya kepada Polri, atau apakah akan ada pengaturan khusus lain yang belum terungkap dalam draf yang beredar saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab untuk memastikan terwujudnya sistem penegakan hukum yang efektif, adil, dan transparan di Indonesia. Kejelasan peran dan kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum sangat krusial untuk mencegah potensi konflik dan memastikan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum.

Proses penyusunan RUU KUHAP ini memerlukan transparansi dan partisipasi publik yang maksimal. Masukan dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, sangat dibutuhkan untuk memastikan RUU KUHAP yang dihasilkan selaras dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.