Masjid Al-Mujahidin Kadirejo: Perpaduan Sejarah, Arsitektur, dan Tradisi Penunjuk Waktu
Masjid Al-Mujahidin Kadirejo: Perpaduan Sejarah, Arsitektur, dan Tradisi Penunjuk Waktu
Bertengger di Dusun Kadirejo, Desa Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berdiri megah Masjid Al-Mujahidin, sebuah saksi bisu perjalanan waktu dan peradaban. Didirikan sekitar tahun 1850 Masehi oleh Kiai Ahmad, seorang ulama dan tokoh Thoriqoh Syadziliyah, masjid ini menyimpan kekayaan sejarah dan arsitektur yang unik, salah satunya adalah penggunaan jam matahari atau jam bencet sebagai penunjuk waktu sholat Dzuhur.
Bangunan utama masjid yang kokoh ditopang empat tiang kayu jati utuh berbentuk silinder, dengan lantai utama yang terletak 1,5 meter di atas permukaan tanah. Di sisi kanan dan kiri ruang utama terdapat pawestren (tempat sholat wanita). Keunikan arsitekturnya diperkuat dengan keberadaan beberapa artefak bersejarah, seperti bedug kulit sapi berdiameter sekitar satu meter bertanggal 1954 dan papan kayu penunjuk waktu sholat tahun 1952. Meskipun kini telah dilengkapi dengan jam digital modern dan dua jam kotak kayu berlonceng di teras masjid, jam matahari tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan beribadah di Masjid Al-Mujahidin.
Jam matahari itu sendiri berbentuk tugu tembok setinggi sekitar satu meter di sisi selatan halaman masjid. Sebuah batang besi tertancap di puncak tugu, dan di lantai dibawahnya terdapat garis-garis simetris sebagai penanda arah dan sudut datangnya sinar matahari, yang digunakan untuk menentukan waktu Dzuhur. Menurut keterangan Muti’ulabi (64), salah satu jamaah masjid, jam matahari ini masih digunakan hingga saat ini untuk menentukan waktu sholat Dzuhur. Sementara bedug, menurut beberapa narasumber, telah lama tidak digunakan lagi, digantikan dengan pengeras suara untuk mengumandangkan adzan.
Sejarah Masjid Al-Mujahidin tak lepas dari jejak Kiai Ahmad, seorang ulama yang juga merupakan bagian dari keluarga cucu mantu Mbah Kiai Reso Pawiro atau R Ng Reso Pawiro Karanganom. Masjid ini semula merupakan bagian dari pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Bangunan asli masjid mengalami kerusakan akibat peristiwa pembakaran pada tahun 1949, di tengah konflik politik militer pasca kemerdekaan. Masjid yang kita lihat saat ini merupakan hasil renovasi pada tahun 1952-1953. Meski telah mengalami renovasi, jam matahari tetap dipertahankan sebagai warisan berharga.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Al-Mujahidin juga menjadi destinasi ziarah. Makam Kiai Ahmad, Kiai Muda, dan tokoh lainnya berada di sebelah barat masjid, menarik banyak peziarah dari berbagai daerah, termasuk Gresik, Jombang, dan Pantura. Kesaksian Sugeng (70), jamaah lainnya, dan Hasyim Fatah (85), sesepuh Dusun Kadirejo, menguatkan cerita tentang sejarah panjang masjid ini, yang meliputi sejarah berdirinya, renovasi, dan peran pentingnya dalam kehidupan masyarakat setempat.
Keberadaan Masjid Al-Mujahidin dengan jam mataharinya merupakan perpaduan unik antara tradisi, sejarah, dan perkembangan zaman. Penggunaan teknologi modern berdampingan dengan metode penunjuk waktu kuno ini menjadi bukti adaptasi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang patut dijaga dan diapresiasi.
- Keberadaan kolam untuk bersuci yang kini telah diuruk juga merupakan bagian dari sejarah masjid ini.
- Masjid ini sering diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Timur.
- Keberadaan artefak-artefak bersejarah menunjukkan kekayaan budaya dan sejarah Masjid Al-Mujahidin.