Jejak Sejarah di Gelas: Lima Merek Sirup Legendaris Indonesia yang Melintasi Zaman
Jejak Sejarah di Gelas: Lima Merek Sirup Legendaris Indonesia yang Melintasi Zaman
Minuman manis yang identik dengan bulan Ramadan dan Lebaran, sirup, ternyata menyimpan sejarah panjang dan kaya di Indonesia. Jauh sebelum menjadi primadona minuman haus di era modern, beberapa merek sirup telah eksis sejak masa kolonial Hindia Belanda, bahkan melampaui satu abad. Keberadaan mereka bukan sekadar catatan manis di industri makanan dan minuman, melainkan juga refleksi dari percampuran budaya dan dinamika ekonomi Indonesia. Lima merek legendaris berikut ini menjadi saksi bisu perjalanan waktu tersebut, menunjukkan bagaimana sebuah produk sederhana mampu bertahan dan beradaptasi di tengah perubahan zaman.
Lima Legenda Sirup Indonesia:
Berikut lima merek sirup lokal tertua yang telah menghiasi meja makan Indonesia selama beberapa generasi:
-
Siropen (Sejak 1923): Berdiri di Surabaya sejak 1923 dengan nama Pabrik Limoen JC Drongelen & Hellfach, Siropen merupakan salah satu kandidat terkuat sebagai pabrik sirup tertua di Indonesia. Didirikan oleh pengusaha Belanda, JC Drongelen, pabrik ini awalnya memasok sirup, terutama kepada rumah tangga Eropa, restoran, dan hotel-hotel besar di kota tersebut. Perjalanan Siropen tak lepas dari pergolakan sejarah; mengalami nasionalisasi pasca kemerdekaan dan sempat berada di bawah kendali Jepang pada periode 1942-1958. Namun, Siropen mampu bertahan dan hingga kini tetap menjadi pilihan banyak konsumen.
-
Tjampolay (Sejak 1936): Berasal dari Cirebon, Tjampolay memiliki kisah unik berawal dari mimpi Tan Tjek Tjiu, seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Nama “Tjampolay” sendiri diambil dari nama buah lokal yang menjadi bahan baku utama. Keberhasilan Tjampolay hingga kini tak lepas dari keberagaman rasa yang ditawarkan dan distribusinya yang luas, hingga ke supermarket-supermarket besar.
-
Sarang Sari (Sejak 1934): Merek ini merupakan warisan pengusaha Belanda, De Wed Bilsma. Didirikan pada 1934, Sarang Sari menggunakan gula batu sebagai bahan utama dan menawarkan berbagai rasa yang mencerminkan selera orang Belanda saat itu, seperti frambozen, vanili, manalagi, dan pisang ambon. Menariknya, rasa-rasa tersebut ternyata juga diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Meskipun kini lebih sulit ditemukan, Sarang Sari tetap memiliki tempat tersendiri di hati para penikmat sirup.
-
Kawista (Sejak 1925): Berasal dari buah kawista yang banyak ditemukan di Jawa Tengah, sirup Kawista telah diproduksi secara massal sejak 1925 di Kabupaten Rembang. Pada masa Hindia Belanda, sirup ini dikenal sebagai “Cola van Java”. Cita rasa manis dan asam yang khas membuat Kawista populer, dan hingga kini diproduksi oleh beberapa perusahaan, termasuk Kawista Dewasa Burung (sejak 1952) dan beberapa UMKM seperti Kawista Sonaya.
-
Marjan (Sejak 1975): Meskipun relatif lebih muda dibandingkan empat merek sebelumnya, Marjan telah menjadi ikonik, terutama selama bulan Ramadan. Dibangun oleh M. Saleh Kurnia melalui PT Suba Indah, awalnya perusahaan ini memproduksi susu. Ide memproduksi sirup muncul berkat kolaborasi dengan Phang Kang Hoat, yang melihat peluang besar di pasar minuman Indonesia yang masih bergantung pada produk impor. Marjan Boudoin pun lahir dan menjadi salah satu merek sirup paling populer hingga saat ini.
Dari kelima merek sirup tersebut, kita dapat melihat bagaimana sebuah produk sederhana mampu menjadi bagian integral dari sejarah kuliner dan budaya Indonesia. Keberadaan mereka menjadi bukti ketangguhan dan daya adaptasi bisnis di tengah perubahan zaman, sekaligus mengingatkan kita pada sejarah yang terukir dalam setiap teguk minuman manis yang kita nikmati.