Desakan Penundaan Kenaikan Royalti Minerba: Antara Daya Saing Industri dan Pendapatan Negara
Desakan Penundaan Kenaikan Royalti Minerba: Antara Daya Saing Industri dan Pendapatan Negara
Industri mineral dan batubara (minerba) Indonesia tengah menghadapi dilema. Di satu sisi, pemerintah berencana menaikkan royalti minerba untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di tengah penurunan harga komoditas global. Di sisi lain, pelaku usaha, diwakili oleh Indonesia Mining Association (IMA) dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), mendesak penundaan kebijakan tersebut, mengatakan bahwa kenaikan royalti akan membebani industri yang tengah berinvestasi besar di hilirisasi dan menghadapi tantangan harga jual yang menurun drastis.
Ketua Umum IMA, Rachmat Makkasau, menjelaskan bahwa peningkatan tarif royalti akan menambah beban operasional perusahaan tambang yang sudah menghadapi kenaikan biaya, termasuk biosolar dan PPN. Beban tambahan ini diperparah dengan kewajiban retensi data ekspor yang meningkatkan utang dan bunga perusahaan. Kondisi ini, menurutnya, akan mengancam daya saing industri minerba Indonesia, terutama di tengah dorongan hilirisasi yang membutuhkan investasi besar dan jangka panjang. Investasi masif dalam pembangunan smelter, yang menjanjikan ribuan lapangan kerja, akan terhambat jika perusahaan dibebani kenaikan royalti saat masih dalam tahap awal produksi.
Senada dengan IMA, FINI juga mengusulkan penundaan kenaikan royalti nikel. Ketua Umum FINI, Alexander Barus, mengingatkan bahwa harga nikel di pasar internasional saat ini berada di titik terendah sejak 2020, diperparah dengan perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat. Penundaan kenaikan royalti, menurut Barus, akan menjadi insentif penting bagi industri nikel dalam negeri untuk tetap bertahan dan berkontribusi pada penerimaan negara. FINI meyakini bahwa dukungan pemerintah melalui penundaan ini akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang positif, menjaga iklim investasi, daya saing produk hilirisasi, dan memaksimalkan PNBP.
Pemerintah, melalui Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung, mengakui telah melakukan pembahasan dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara terkait rencana kenaikan royalti. Namun, ia membantah pemberlakuan kenaikan royalti pada 15 Maret 2025. Tanjung menjelaskan bahwa rencana kenaikan royalti dilatarbelakangi penurunan harga komoditas mineral global, khususnya batubara, yang berdampak pada penurunan PNBP. Pemerintah, katanya, berupaya mencari keseimbangan antara biaya produksi pelaku usaha dan penerimaan negara agar tercipta situasi win-win solution.
Meskipun demikian, perbedaan pandangan antara pemerintah dan pelaku usaha perlu dicari titik temunya. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kenaikan royalti terhadap iklim investasi dan daya saing industri minerba. Di sisi lain, pelaku usaha perlu menunjukkan komitmen untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing agar tetap berkelanjutan dalam jangka panjang. Dialog dan negosiasi yang intensif antara pemerintah dan pelaku usaha sangat krusial untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak, guna memastikan keberlanjutan industri minerba Indonesia dan optimalisasi penerimaan negara.
Poin-poin penting:
- Desakan penundaan kenaikan royalti minerba dari IMA dan FINI.
- Penurunan harga komoditas global dan dampaknya terhadap PNBP.
- Beban operasional perusahaan tambang yang tinggi.
- Investasi besar dalam hilirisasi dan pembangunan smelter.
- Pertimbangan pemerintah untuk mencari keseimbangan antara penerimaan negara dan daya saing industri.
- Perlunya dialog dan negosiasi antara pemerintah dan pelaku usaha.