Kejari Jakpus Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS): Kerugian Negara Mencapai Rp 958 Miliar

Kejari Jakpus Usut Dugaan Korupsi Proyek PDNS Rp 958 Miliar

Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) tengah mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), periode 2020-2024. Nilai proyek yang diduga diselimuti korupsi ini mencapai angka fantastis, yakni Rp 958 miliar. Kasus ini menjadi sorotan publik mengingat peran krusial PDNS dalam menyimpan data penting milik pemerintah dan masyarakat. Penyelidikan yang dilakukan Kejari Jakpus menyelidiki dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan dan pengelolaan PDNS yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Pusat Data Nasional Sementara (PDNS): Jantung Data Pemerintah yang Terancam

PDNS, sebagai fasilitas penyimpanan data pemerintah secara terpusat sementara, menyimpan data penting dari berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Data ini mencakup informasi sensitif seperti data kependudukan (KTP), nomor rekening, nomor telepon seluler, dan data pribadi lainnya. Kementerian Komdigi memiliki tanggung jawab penuh atas pengelolaan dan keamanan data yang tersimpan di PDNS, sementara pembangunan Pusat Data Nasional (PDN) yang permanen masih dalam proses. Fungsi PDNS yang utama adalah untuk menjaga keamanan dan ketersediaan data, memastikan interkonektivitas antar instansi pemerintah, serta menunjang kelancaran layanan publik. Kegagalan dalam menjaga keamanan dan integritas PDNS berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan masyarakat.

Serangan Siber dan Dampaknya terhadap Layanan Publik

Dugaan korupsi dalam proyek PDNS tak hanya berdampak pada kerugian keuangan negara, namun juga berujung pada serangan siber yang mengakibatkan terkunciya akses terhadap data penting. Insiden ransomware yang terjadi pada Juni 2024, misalnya, melumpuhkan operasional PDNS 1, berdampak pada terganggunya sejumlah layanan publik akibat minimnya sistem backup data yang memadai. Kejadian ini menyoroti betapa krusialnya keamanan siber dan pengelolaan data yang baik dalam sistem pemerintahan. Ketidakmampuan untuk memulihkan layanan publik secara cepat menggarisbawahi urgensi adanya sistem pengelolaan data yang handal dan antisipatif terhadap ancaman keamanan siber.

Tanggapan Pihak Terkait

Menanggapi dugaan korupsi ini, Kementerian Komdigi menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum yang tengah berlangsung dan berkomitmen untuk memberikan semua informasi dan data yang diperlukan untuk mendukung proses penyidikan. Hal senada disampaikan oleh pihak Lintasarta, salah satu vendor yang terlibat dalam proyek PDNS. Lintasarta menyatakan menghormati proses hukum dan siap bekerja sama sepenuhnya dalam memberikan keterangan yang dibutuhkan. Komitmen transparansi dan akuntabilitas ditekankan oleh kedua pihak, menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas dan transparan.

Kronologi dan Dugaan Praktik Korupsi

Kejari Jakpus menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada tahun 2020, saat Kominfo (sebelum berganti nama menjadi Komdigi) melakukan pengadaan barang dan jasa untuk PDNS senilai Rp 958 miliar. Diduga terjadi pengkondisian pemenang tender antara pejabat Kominfo dengan pihak swasta, yaitu PT Aplikanusa Lintasarta (AL). Penyelidikan yang tengah berlangsung bertujuan untuk mengungkap secara rinci dan membuktikan dugaan tersebut. Investigasi ini diharapkan dapat mengungkap semua pihak yang terlibat dan memastikan proses pertanggungjawaban hukum berjalan dengan adil dan transparan.

Kesimpulan

Kasus dugaan korupsi proyek PDNS senilai Rp 958 miliar ini menjadi pengingat pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keamanan siber dalam pengelolaan proyek pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan data dan informasi publik yang sensitif. Proses hukum yang sedang berlangsung diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan memberikan keadilan bagi masyarakat.