Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Potensi Tumpang Tindih Kewenangan dan Ancaman Overkriminalisasi

Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Potensi Tumpang Tindih Kewenangan dan Ancaman Overkriminalisasi

Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan tumpang tindih kewenangan menjadi sorotan utama dalam diskusi publik yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) bersama Koalisi Masyarakat Sipil pada Jumat, 28 Februari 2025. Diskusi bertajuk "Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan: Kritik RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan" tersebut menghadirkan para pakar hukum terkemuka, termasuk Dosen FH UB M Ali Safa'at, Peneliti Senior Imparsial & Ketua Centra Initiative Al Araf, Mantan Pimpinan KPK 2015-2019 Saut Situmorang, serta Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia/PBHI Nasional Julius Ibrani. Para narasumber secara tegas menyuarakan keprihatinan mereka terhadap revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan yang tengah dibahas.

Dekan FH UB, Aan Eko Widiarto, menekankan keterkaitan revisi ketiga RUU tersebut dengan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menyoroti perubahan mendasar dalam mekanisme penyelidikan dan penyidikan, khususnya potensi penghapusan tahap penyelidikan. Hal ini, menurutnya, berpotensi menimbulkan implikasi besar terhadap proses hukum yang berjalan dan berisiko mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Aan juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara perluasan kewenangan dan penguatan pengawasan untuk memastikan perlindungan hak-hak masyarakat tetap terjaga. "Sebagai akademisi hukum," ujarnya, "kita harus memberikan pandangan kritis dan objektif. Jangan sampai revisi ini justru memperbesar kewenangan tanpa keseimbangan pengawasan."

Senada dengan Dekan FH UB, Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, mengingatkan bahaya overkriminalisasi yang telah terjadi pasca revisi KUHP 2023. Ia melihat RUU TNI, Polri, dan Kejaksaan berpotensi memperburuk situasi dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada aparat penegak hukum tanpa mekanisme kontrol yang efektif. Beberapa poin kontroversial yang disorot Julius meliputi: peran militer dalam ranah sipil; kewenangan jaksa dalam penyadapan dan prakondisi penuntutan; serta sistem prosecutor-centric yang dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan peran penyidik kepolisian. "Kita harus menghindari konsentrasi kekuasaan di satu institusi tanpa pengawasan yang jelas," tegas Julius. "Jika dibiarkan, masyarakat sipil bisa semakin terpinggirkan dalam sistem hukum yang tidak berimbang."

Saut Situmorang, Mantan Pimpinan KPK, berpendapat bahwa revisi ketiga RUU tersebut bukanlah solusi bagi ketidakpastian hukum di Indonesia, melainkan justru akan memperumit keadaan dan meningkatkan potensi penyalahgunaan wewenang. Ia mengkritik tren perubahan undang-undang yang seringkali dilakukan tanpa kajian akademik mendalam, menggunakan contoh revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja sebagai bukti kegagalan regulasi yang tidak terencana dengan matang. Saut juga menyoroti potensi penyalahgunaan intelijen yang diatur dalam ketiga RUU, menekankan pentingnya pengawasan yang ketat untuk mencegah praktik pengawasan berlebihan terhadap masyarakat. "Intelijen seharusnya bertanggung jawab untuk keamanan negara, bukan alat untuk mengawasi masyarakat sipil tanpa dasar yang jelas," tegasnya.

Diskusi yang melibatkan berbagai pakar hukum ini ditutup dengan seruan kepada DPR dan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam merancang regulasi yang berdampak besar pada sistem hukum nasional. FH UB bersama Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar revisi RUU Polri, TNI, dan Kejaksaan dilakukan secara transparan dan melibatkan secara aktif akademisi dan pakar hukum guna memastikan terciptanya regulasi yang adil, efektif, dan berpihak pada kepentingan publik. Ketidakhadiran kajian mendalam dan partisipasi aktif para ahli hukum dikhawatirkan akan berujung pada lahirnya regulasi yang justru memperlemah sistem hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.