Pembatasan Angkutan Barang Jelang Mudik Lebaran 2025 Dinilai Berpotensi Ganggu Perekonomian Nasional

Pembatasan Angkutan Barang: Ancaman bagi Pertumbuhan Ekonomi?

Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono (Gerindra), turut mengapresiasi kesiapan pemerintah dalam menghadapi arus mudik Lebaran 2025. Namun, ia menyuarakan keprihatinan mendalam terkait rencana pembatasan operasional angkutan barang selama 16 hari, mulai 24 Maret hingga 8 April 2025. Bambang menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh.

Dalam keterangan resminya pada Minggu (16/3/2025), Bambang mempertanyakan urgensi pembatasan tersebut. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini justru berisiko memicu kelangkaan barang, mendorong inflasi, dan pada akhirnya mempersulit masyarakat dalam memenuhi kebutuhan, bahkan setelah periode Lebaran berakhir. Lebih lanjut, ia memproyeksikan lonjakan aktivitas distribusi pasca libur panjang, di mana industri akan berupaya mengejar ketertinggalan produksi. Hal ini dikhawatirkan akan memicu kemacetan dan hambatan distribusi barang serta logistik di seluruh Indonesia, yang berdampak luas pada rantai pasok nasional.

"Kebijakan ini kontraproduktif dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto," tegas Bambang. Ia menambahkan bahwa alih-alih menghambat, pemerintah seharusnya mendorong percepatan pergerakan logistik untuk menunjang aktivitas ekonomi di semua sektor. Bambang menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pembatasan ini terhadap iklim investasi dan stabilitas perekonomian.

Sebagai alternatif, Bambang menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah lain yang dinilai efektif mengurangi potensi kepadatan arus mudik, seperti perpanjangan libur sekolah dan kebijakan Work From Anywhere (WFA). Peningkatan kapasitas transportasi publik, baik darat, laut, maupun kereta api, juga dinilai sebagai langkah positif dalam mengurai kepadatan lalu lintas. Ia berpendapat bahwa dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah semestinya lebih optimistis dalam menghadapi lonjakan kendaraan pribadi di jalan raya.

Lebih lanjut, Bambang menyarankan agar pembatasan, jika tetap diberlakukan, difokuskan pada wilayah-wilayah yang memang rawan kemacetan, seperti jalur utara Pulau Jawa. Penerapan kebijakan secara nasional, termasuk di daerah yang relatif lancar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, dinilai tidak perlu dan justru kontraproduktif. Ia mendorong pemanfaatan jalur alternatif di Pulau Jawa dan pengaturan waktu keberangkatan angkutan pribadi dan logistik agar lebih terdistribusi merata.

Bambang menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kajian mendalam sebelum pengambilan keputusan. Ia memperingatkan potensi gangguan terhadap dunia industri, perdagangan, dan perekonomian masyarakat luas jika kebijakan ini diterapkan tanpa pertimbangan matang. "Kami berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali keputusan ini untuk menghindari terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang menjadi target nasional," pungkasnya.