Modus Operandi Gilang 'Bungkus' Kembali Muncul, Korban Baru Hampir Terjebak
Modus Operandi Gilang 'Bungkus' Kembali Muncul, Korban Baru Hampir Terjebak
Gilang Aprilian Nugraga Pratama, yang dikenal dengan sebutan 'Gilang Bungkus', kembali menjadi sorotan setelah baru-baru ini terungkap upaya penipuannya terhadap seorang pengguna media sosial X. Meskipun pernah menjalani hukuman penjara terkait kasus serupa pada tahun 2020, Gilang tampak mengulangi modus operandi yang hampir identik. Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan terhadap predator online dan perlunya memahami mekanisme manipulasi yang mereka gunakan.
Seorang pengguna X, yang identitasnya dirahasiakan dan hanya diinisialkan sebagai R (20), berbagi pengalamannya yang nyaris menjadi korban Gilang pada tanggal 11 Maret 2025. R menerima pesan dari akun yang diduga milik Gilang sekitar pukul 01.12 WIB. Dalam pesan tersebut, Gilang, atau seseorang yang menyamar sebagai dirinya, mengajak R untuk terlibat dalam sebuah proyek penulisan. Untungnya, R yang sudah familiar dengan kasus Gilang di masa lalu, langsung menyadari adanya kejanggalan dan segera mengabaikan pesan tersebut. R kemudian membagikan detail percakapannya dengan akun tersebut di platform X, sebagai peringatan kepada pengguna internet lainnya.
Setelah membangun kontak awal melalui pesan langsung Instagram, komunikasi berlanjut ke WhatsApp. Akun yang mengaku sebagai Aprilian Pratama, mengatakan dirinya sebagai penulis lepas dari Surabaya yang berdomisili di Kalimantan. Dengan cermat membangun kepercayaan, Gilang kemudian menjabarkan konsep proyeknya yang melibatkan tahapan yang mencurigakan; tahapan yang menyerupai modus operandi yang digunakannya pada kasus tahun 2020, yaitu melibatkan praktik 'mengkafani diri sendiri'. Praktik ini, yang sering dikaitkan dengan fetish, menjadi kunci pemahaman atas modus operandi Gilang.
Kasus Gilang Bungkus kembali mengangkat isu 'fetish' dan kaitannya dengan potensi gangguan jiwa. Fetish, secara umum, didefinisikan sebagai ketertarikan atau kesenangan yang kuat terhadap objek tertentu, yang tidak selalu berkonotasi seksual. Namun, dalam konteks kasus Gilang, fetish ini tampaknya digunakan sebagai alat manipulasi dan eksploitasi. Para ahli menjelaskan bahwa fetishisme, yaitu fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang melibatkan objek mati, hanya dikategorikan sebagai gangguan jiwa jika menyebabkan penderitaan atau gangguan fungsi yang signifikan pada individu yang mengalaminya. Meskipun demikian, penggunaan fetish dalam konteks manipulasi seperti yang dilakukan Gilang, membutuhkan perhatian serius dan kajian lebih lanjut mengenai implikasi psikologis dan kriminalnya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya literasi digital dan kewaspadaan terhadap pendekatan yang mencurigakan di dunia maya. Perlu disadari bahwa predator online kerap menggunakan berbagai taktik manipulasi, termasuk memanfaatkan celah psikologis korban. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran publik dan upaya pencegahan yang lebih efektif sangatlah penting untuk melindungi individu dari kejahatan serupa di masa mendatang. Laporan ini juga menjadi pengingat atas pentingnya dukungan dan perlindungan bagi para korban pelecehan dan eksploitasi online.
Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Modus operandi Gilang yang hampir identik dengan kasus tahun 2020 menunjukkan pola perilaku yang mengkhawatirkan.
- Penggunaan platform media sosial sebagai alat untuk mendekati korban membutuhkan pengawasan yang lebih ketat.
- Pentingnya literasi digital dan kewaspadaan terhadap pendekatan yang mencurigakan untuk mencegah kejahatan serupa.
- Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai kaitan fetish dan potensi gangguan jiwa dalam konteks kejahatan online.
- Pentingnya dukungan bagi korban pelecehan dan eksploitasi online.