Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Rapat Tertutup di Hotel Mewah Picu Protes Aktivis
Revisi UU TNI Menuai Kontroversi: Rapat Tertutup di Hotel Mewah Picu Protes Aktivis
Pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang berlangsung selama dua hari, 14-15 Maret 2025, di Hotel Fairmont Jakarta, sebuah hotel bintang lima, telah memicu kontroversi dan protes keras dari sejumlah aktivis masyarakat sipil. Pertemuan yang digelar di ruang Ruby 1 dan 2, yang dapat menampung hingga 120 orang, menjadi sorotan utama karena dinilai kurang transparan dan menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi anggaran. Kedekatan lokasi hotel dengan Gedung DPR RI, hanya sekitar dua kilometer, semakin mempertegas kritik mengenai pilihan tempat tersebut.
Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin, membenarkan adanya revisi yang menambah tugas operasi militer non-perang TNI dari 14 menjadi 17 poin, termasuk penanganan masalah narkotika. Perubahan ini, menurut Hasanuddin, telah disepakati setelah pembahasan yang panjang dan detail. Namun, penjelasan ini tidak cukup meredakan kekhawatiran aktivis yang hadir di lokasi untuk memprotes jalannya rapat.
Protes Aktivis dan Tuduhan Kurang Transparan
Koalisi masyarakat sipil, termasuk perwakilan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), secara tegas mengecam proses revisi UU TNI. Mereka menilai proses tersebut tidak transparan dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI, sebuah praktik yang kontroversial di masa lalu. Andrie, seorang aktivis Kontras, bahkan mencoba memasuki ruang rapat namun dihalangi oleh petugas hotel, hingga mengakibatkannya terjatuh. Insiden ini semakin memperkuat pandangan mengenai tertutupnya akses publik terhadap proses revisi tersebut.
Dimas Bagus Arya, Koordinator Kontras, menyorot beberapa pasal bermasalah dalam revisi UU tersebut yang dianggap mengancam demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Salah satu kekhawatiran utama adalah perluasan penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil. Arya berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer dan berpotensi menimbulkan masalah seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, serta loyalitas ganda bagi prajurit yang bersangkutan. Pemilihan lokasi rapat di hotel mewah juga dianggap mencerminkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan efisiensi anggaran.
Tanggapan Pihak DPR dan Detail Revisi UU TNI
Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, ketika dikonfirmasi mengenai alasan pemilihan lokasi rapat di Hotel Fairmont, tidak memberikan penjelasan yang memuaskan. Ia malah membandingkan praktik rapat di hotel mewah dengan pembahasan undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang juga berlangsung di hotel-hotel berbintang. Hal ini dinilai tidak menjawab inti permasalahan mengenai transparansi dan efisiensi anggaran.
Revisi UU TNI sendiri mencakup beberapa perubahan signifikan, seperti penambahan usia pensiun bagi prajurit, hingga 58 tahun untuk bintara dan tamtama serta 60 tahun untuk perwira, dengan kemungkinan perpanjangan hingga 65 tahun bagi prajurit di posisi fungsional. Namun, perubahan yang paling kontroversial adalah penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sipil, yang dikhawatirkan akan memunculkan kembali dwifungsi TNI dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
Hotel Fairmont Jakarta sendiri, selain terkenal sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara besar, menawarkan berbagai fasilitas mewah, termasuk 11 tipe kamar dengan harga mulai dari Rp 2,2 juta per malam, dan sejumlah ruang rapat seperti Grand Ballroom, Jade Room, Emerald Room, Ruby Room, Diamond Room, Opal Room, dan Sapphire Room. Namun, kemewahan ini justru menjadi sorotan dalam konteks pembahasan revisi UU TNI yang menuai protes dari masyarakat sipil.