Empat Nelayan Indonesia Gugat Perusahaan Makanan Laut AS Atas Dugaan Kerja Paksa

Empat Nelayan Indonesia Gugat Perusahaan Makanan Laut AS Atas Dugaan Kerja Paksa

Empat nelayan Indonesia mengajukan gugatan hukum terhadap sebuah perusahaan makanan laut Amerika Serikat, menuding perusahaan tersebut terlibat dalam praktik kerja paksa dan perlakuan tidak manusiawi. Gugatan yang diajukan pada Rabu, 13 Maret 2025, ini menandai kasus pertama yang menargetkan perusahaan makanan laut AS terkait dugaan eksploitasi tenaga kerja di sektor perikanan. Para nelayan tersebut, yang bekerja di kapal-kapal penangkap tuna albacore milik perusahaan China yang memasok ke perusahaan Amerika Serikat, mengaku mengalami kekerasan fisik, penahanan, dan pembayaran upah yang tidak adil. Gugatan ini diajukan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia AS, yang memungkinkan warga negara asing untuk menuntut perusahaan-perusahaan Amerika yang terlibat dalam praktik kerja paksa.

Pengacara para nelayan, Agnieszka Fryszman, menekankan pentingnya akuntabilitas perusahaan-perusahaan yang memperoleh keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja. "Perusahaan-perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari kerja paksa harus bertanggung jawab atas tindakan mereka," tegas Fryszman dalam sebuah pernyataan. Pihak perusahaan yang dituduh hingga saat ini belum memberikan komentar resmi terkait gugatan tersebut. Gugatan ini juga mencakup tuntutan kompensasi finansial atas upah yang belum dibayarkan dan penderitaan yang dialami para nelayan. Namun, di luar aspek kompensasi, gugatan ini juga bertujuan untuk mendorong perubahan sistemik dalam industri perikanan global, khususnya dalam hal perlindungan hak-hak pekerja migran.

Kisah Derita Para Nelayan

Salah satu nelayan, yang hanya disebut dengan inisial A, menceritakan pengalamannya dipukul dengan kait logam dan dipaksa terus bekerja meskipun mengalami cedera kaki yang serius. Nelayan lain, MS, menggambarkan bagaimana ia mengalami luka bakar parah akibat kecelakaan kerja namun ditolak perawatan medis oleh kapten kapal selama berbulan-bulan. "Saya tetap harus bekerja, meskipun mengalami luka bakar serius," kata MS dalam kesaksiannya. Keempat nelayan tersebut juga mengungkapkan bahwa mereka terikat utang dan diancam dengan denda besar jika berhenti bekerja, serta hanya menerima sebagian kecil dari upah yang seharusnya mereka terima. Mereka merasa terjebak dalam sistem yang eksploitatif dan tidak memiliki jalan keluar.

Tuntutan Perubahan Sistemik

Para nelayan tidak hanya menuntut kompensasi finansial, tetapi juga perubahan sistemik dalam industri perikanan. Mereka mendesak perusahaan tergugat untuk mewajibkan kapal-kapal dalam rantai pasokannya untuk membawa hasil tangkapan mereka ke darat secara berkala, alih-alih melaut dalam waktu yang sangat lama tanpa istirahat. Selain itu, mereka menuntut penyediaan fasilitas medis di kapal dan akses komunikasi, seperti Wi-Fi, agar mereka dapat meminta bantuan jika diperlukan. MS, salah seorang penggugat, mengungkapkan harapannya agar pengalamannya ini dapat menjadi peringatan bagi nelayan lain dan mendorong perubahan yang lebih baik dalam industri perikanan.

Dampak Global dan Tantangan Ke Depan

Kasus ini menyoroti permasalahan yang lebih luas mengenai eksploitasi tenaga kerja dalam industri perikanan global. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), diperkirakan 128.000 orang terjebak dalam kerja paksa di industri perikanan, meskipun angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Gugatan ini juga mengingatkan kembali pada undang-undang tahun 2016 yang disahkan oleh Kongres AS untuk menindak praktik kerja paksa dalam industri perikanan, setelah investigasi Associated Press mengungkap adanya produk perikanan dari pekerja paksa di pasar Amerika Serikat.

Keempat nelayan, MS, A, An, dan MSa, berharap gugatan ini tidak hanya memberikan keadilan bagi mereka tetapi juga membawa perubahan nyata untuk melindungi hak-hak dan keselamatan para nelayan Indonesia dan pekerja migran lainnya dalam industri perikanan global. Kasus ini menjadi sorotan penting dalam perjuangan melawan eksploitasi tenaga kerja dan memperkuat tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasokan global.