Masjid Al-Mujahidin Klaten: Perpaduan Sejarah, Tradisi, dan Modernitas dalam Menentukan Waktu Salat

Masjid Al-Mujahidin Klaten: Perpaduan Sejarah, Tradisi, dan Modernitas dalam Menentukan Waktu Salat

Di Dusun Kadirejo, Desa Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berdiri Masjid Al-Mujahidin, sebuah bangunan bersejarah yang menyimpan cerita unik tentang perpaduan tradisi dan modernitas dalam menentukan waktu salat. Masjid yang didirikan sekitar abad ke-18 ini masih mempertahankan penggunaan jam matahari, atau yang dikenal setempat sebagai 'jam bencet', sebuah tugu tembok setinggi sekitar satu meter dengan batang besi yang ditancapkan di atasnya, berfungsi sebagai penunjuk waktu salat zuhur. Garis-garis simetris dan goresan di lantai di bawah batang besi tersebut menunjukkan kemiringan matahari yang menjadi acuan penentuan waktu. Keberadaan jam matahari ini menjadi bukti nyata kelestarian tradisi di tengah perkembangan zaman yang pesat.

Meskipun masjid ini tetap menggunakan jam matahari untuk penentuan waktu salat zuhur, modernitas tetap hadir dalam bentuk dua jam kotak kayu lengkap dengan lonceng di teras masjid, serta jam digital modern di dalam ruangan utama. Hal ini menunjukkan adaptasi yang dilakukan pengurus masjid dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan jaman tanpa meninggalkan warisan budaya leluhurnya. Arsitektur masjid sendiri juga memperlihatkan perpaduan antara masa lalu dan sekarang. Lantai masjid yang tingginya sekitar 1,5 meter dari tanah, ruang utama yang ditopang empat tiang kayu jati utuh berbentuk silinder, dan ruang pawestren (tempat salat wanita) yang terletak di kanan dan kiri ruang utama, menunjukkan desain tradisional yang masih terjaga. Keberadaan bedug kulit sapi berdiameter sekitar satu meter bertuliskan tahun 1954 dan papan kayu penunjuk waktu salat bertuliskan tahun 1952, meskipun sudah tidak digunakan lagi untuk panggilan adzan (kini menggunakan pengeras suara), menambah kekayaan sejarah yang tersimpan di dalam masjid ini. Muti'ulabi (64), seorang jamaah masjid, menjelaskan bahwa bedug sudah lama tidak digunakan lagi, dan jam matahari hanya dipakai untuk menentukan waktu salat zuhur.

Sejarah Masjid Al-Mujahidin tidak lepas dari peran Kiai Ahmad, seorang ulama dan tokoh Thoriqoh Syadziliyah. Menurut Hasyim Fatah (85), sesepuh Dusun Kadirejo dan kerabat Kiai Ahmad, masjid ini awalnya merupakan bagian dari sebuah pondok pesantren yang mengajarkan kitab kuning. Masjid asli yang didirikan sekitar tahun 1850, pernah mengalami kerusakan akibat kebakaran pada tahun 1949 di tengah konflik politik militer pasca kemerdekaan. Masjid yang saat ini berdiri merupakan hasil renovasi pada tahun 1952-1953. Hasyim Fatah menceritakan bahwa masjid asli berukuran lebih kecil dan beratap sirap (kayu). Meskipun telah mengalami renovasi, jam matahari tetap dipertahankan sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah dan identitas masjid ini. Keberadaan makam Kiai Ahmad, Kiai Muda, dan lainnya di area barat masjid, juga menjadi daya tarik tersendiri, seringkali dikunjungi peziarah dari berbagai daerah seperti Gresik, Jombang, dan Pantura. Kompleks masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai situs sejarah dan tempat ziarah yang penting.

Keberadaan Masjid Al-Mujahidin menjadi bukti kearifan lokal dalam menyelaraskan tradisi dan modernitas. Penggunaan jam matahari sebagai penunjuk waktu salat zuhur bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga merupakan bagian dari upaya memelihara warisan budaya leluhur. Keberadaan jam-jam modern di samping jam matahari menunjukkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang berharga. Masjid Al-Mujahidin bukan hanya sebuah bangunan tempat ibadah, tetapi juga sebuah monumen hidup yang mencerminkan kearifan dan keuletan masyarakat Klaten dalam melestarikan budaya dan sejarahnya.