Mengais Rahmat Ramadan di Negeri Orang: Kisah Mahasiswa Indonesia yang Berpuasa di Portugal

Mengais Rahmat Ramadan di Negeri Orang: Kisah Mahasiswa Indonesia yang Berpuasa di Portugal

Farhan Rahmatullah, mahasiswa Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), tengah menjalani semester pertukaran pelajar di University of Minho, Portugal, berkat beasiswa Erasmus+. Keberadaannya di Guimarães, sejak Februari 2025 hingga Juni 2025, memberikan pengalaman unik menjalankan ibadah puasa di negara dengan mayoritas non-muslim. Pengalaman ini diwarnai tantangan dan penyesuaian diri yang signifikan, khususnya dalam hal waktu puasa dan ketersediaan makanan halal.

Perbedaan waktu yang cukup signifikan antara Portugal dan Indonesia menjadi tantangan utama. Farhan menjelaskan bahwa waktu berpuasa saat ini berkisar antara pukul 05.30 hingga 18.15 waktu setempat. Namun, seiring mendekatnya musim panas, durasi puasa diperkirakan akan memanjang hingga mencapai 15 jam. Hal ini, menurut Farhan, disebabkan oleh posisi geografis Portugal yang berada di belahan bumi utara, sehingga siang hari menjadi lebih panjang di musim panas. "Mungkin karena posisi negaranya bukan di lintang garis katulistiwa, waktu siangnya di sini jadi lebih lama mendekati musim panas," ujarnya.

Kerinduan akan Nuansa Ramadan di Tanah Air

Selain tantangan waktu puasa, Farhan juga merasakan kerinduan mendalam akan suasana Ramadan di Indonesia. Ia merindukan kemeriahan berburu takjil menjelang berbuka, suara-suara peringatan imsak yang khas, dan keakraban pengajian di masjid. "Yang dikangenin terutama itu jelas takjil, terus atmosfer Ramadhan-nya itu beda," ungkapnya, menggambarkan perbedaan signifikan antara suasana Ramadan di Indonesia dan Portugal.

Mencari Tempat Salat dan Mengatasi Kendala Kuliner

Menjalankan salat Jumat dan Tarawih juga menjadi tantangan tersendiri. Farhan seringkali melaksanakan ibadah tersebut secara sendirian karena kesulitan menemukan tempat salat di luar apartemen. Di kampus, ia memanfaatkan ruangan kosong seperti kelas atau ruang diskusi mahasiswa. Untuk urusan sahur dan berbuka, Farhan lebih sering memasak sendiri karena keterbatasan akses terhadap makanan halal. Jarak tempuh ke restoran halal yang terdekat membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Menu masakannya pun sederhana, berupa nasi putih, ayam goreng, dan sayur berkuah, mencoba menghadirkan cita rasa Indonesia di negeri orang.

Tantangan Mengolah Makanan Khas Indonesia di Portugal

Memasak makanan khas Indonesia di Portugal menghadirkan tantangan tersendiri. Kesulitan utama terletak pada keterbatasan rempah-rempah. "Kebanyakan itu bahan-bahan rempah-rempahnya yang dijual bahan-bahan kering gitu, bahan-bahan yang sudah di-frozen gitu," jelasnya. Ia menambahkan, daging halal pun hanya tersedia di supermarket tertentu. Sebagai alternatif, Farhan sesekali menyantap makanan halal dari restoran Bangladesh dan Pakistan, atau menikmati roti dan pastry khas Portugal yang halal.

Ia juga telah beberapa kali berpartisipasi dalam acara buka puasa bersama komunitas warga Indonesia di Portugal, khususnya di Porto. "Seperti kemarin ada acara buka bersama dari teman-teman dari PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) yang ada di Portugal, tetapi itu di Porto perjalanan pakai bus satu jam," tuturnya.

Toleransi Beragama di Portugal

Awalnya, Farhan sedikit khawatir akan menghadapi diskriminasi. Namun, ia merasakan penerimaan yang baik dari lingkungan sekitar, baik di kampus maupun di apartemen. Meskipun ada beberapa orang yang penasaran dengan rutinitas sahur Farhan, ia merasakan toleransi dan penerimaan yang positif dari masyarakat sekitar.

Kesimpulannya, pengalaman berpuasa Farhan di Portugal bukan hanya sekadar menjalankan ibadah, tetapi juga sebuah perjalanan adaptasi, kreativitas, dan pemahaman budaya yang memperkaya wawasan spiritual dan sosialnya.