Perang Sarung dan Petasan di Bulan Ramadan: Tantangan Ruang Publik dan Peran Pemerintah

Perang Sarung dan Petasan di Bulan Ramadan: Tantangan Ruang Publik dan Peran Pemerintah

Bulan Ramadan, yang identik dengan peningkatan ibadah dan kegiatan sosial positif, terkadang diiringi oleh fenomena meresahkan: perang sarung dan petasan yang melibatkan anak muda, khususnya generasi Z. Perilaku ini, yang menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, membutuhkan analisis mendalam dan solusi komprehensif, bukan hanya sebatas penghakiman. Dr. Radius Setiyawan, pakar sosiologi dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, menawarkan perspektif yang menekankan pentingnya peran pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan ruang publik yang aman, produktif, dan mengakomodasi energi melimpah generasi muda.

Menurut Dr. Setiyawan, munculnya fenomena ini berkaitan erat dengan keterbatasan akses terhadap ruang publik yang memadai bagi anak muda untuk berekspresi. Generasi Z, yang dikenal memiliki energi tinggi dan semangat yang membuncah, membutuhkan saluran yang tepat untuk menyalurkan kreativitas dan energinya. Ketiadaan wadah yang sesuai dapat mendorong mereka pada perilaku berisiko, termasuk perang sarung dan penggunaan petasan yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain. "Fenomena merayakan Ramadan dengan gembira itu baik, terutama jika dilakukan di pagi hari setelah subuh," ujar Dr. Setiyawan. "Namun, perilaku tersebut menjadi masalah serius ketika mengarah pada tindakan destruktif dan mengganggu ketertiban umum, bahkan berpotensi kriminal." Ia menekankan bahwa penghakiman terhadap perilaku anak muda bukanlah solusi, melainkan merupakan bentuk kegagalan dalam menyediakan fasilitas dan lingkungan yang tepat.

Solusi yang ditawarkan Dr. Setiyawan berfokus pada penciptaan ruang publik yang lebih sehat, aman, dan produktif. Hal ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan lembaga keagamaan. Kerjasama ini diperlukan untuk mengembangkan program-program kreatif yang tidak hanya mengakomodasi aktivitas positif, tetapi juga memberikan edukasi dan nilai-nilai sosial yang bermanfaat. Pembangunan ruang-ruang publik ini haruslah partisipatif, melibatkan generasi muda dalam proses perencanaan dan implementasinya, agar mereka merasa dihargai dan memiliki sense of ownership.

Lebih lanjut, Dr. Setiyawan menyoroti pentingnya mengarahkan energi berlebih generasi Z ke hal-hal yang positif dan konstruktif. Fasilitas olahraga, seni, kegiatan sosial yang melibatkan komunitas, dan berbagai program pengembangan minat dan bakat merupakan beberapa contoh ruang publik yang dapat memberikan alternatif yang lebih sehat dan bermanfaat. Dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, anak muda dapat menyalurkan energinya secara positif, terhindar dari perilaku yang merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Namun, penciptaan ruang publik yang sehat dan kondusif bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan generasi muda. Partisipasi aktif masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, sangat krusial dalam mewujudkan lingkungan yang aman, mendukung pertumbuhan, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial di kalangan generasi muda. Hanya dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah dan masyarakat, kita dapat menciptakan generasi masa depan yang lebih baik dan bertanggung jawab.

Kesimpulan: Perang sarung dan petasan selama Ramadan merupakan indikasi kebutuhan mendesak akan peningkatan kualitas ruang publik dan peran aktif semua pihak dalam membina generasi muda. Solusi jangka panjang membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, institusi pendidikan, lembaga keagamaan, dan masyarakat secara keseluruhan untuk menciptakan lingkungan yang lebih positif dan mendukung perkembangan anak muda.