Pencabutan Visa Mahasiswa Columbia: Aksi Protes Pro-Palestina Picu Kebijakan Imigrasi AS yang Ketat
Pencabutan Visa Mahasiswa Columbia: Aksi Protes Pro-Palestina Picu Kebijakan Imigrasi AS yang Ketat
Kasus pencabutan visa Ranjani Srinivasan, mahasiswa Universitas Columbia asal India, telah menyoroti dampak potensial dari partisipasi dalam demonstrasi politik bagi mahasiswa asing di Amerika Serikat. Srinivasan, yang aktif dalam demonstrasi pro-Palestina, secara sukarela meninggalkan negara tersebut setelah visanya dicabut oleh pihak imigrasi AS pada 5 Maret 2025. Pencabutan visa tersebut didasarkan pada tuduhan dukungan terhadap kekerasan dan terorisme, meskipun bukti konkret yang mendukung tuduhan tersebut belum diungkapkan secara terbuka oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS).
Keputusan DHS ini telah memicu kekhawatiran di kalangan mahasiswa internasional. Srinivasan menghindari deportasi paksa dengan memilih self-deporting, sebuah langkah yang diambil untuk menghindari nasib serupa dengan mahasiswa lain yang dideportasi dengan pesawat militer. Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, mengunggah video Srinivasan di bandara dan menekankan bahwa AS tidak menoleransi dukungan terhadap kekerasan. Noem juga memuji Srinivasan yang menggunakan aplikasi CBP Home untuk mengurus keberangkatannya sendiri. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi proses hukum dan hak-hak mahasiswa internasional di AS.
Universitas Columbia sendiri, yang menjadi pusat demonstrasi pro-Palestina pasca-eskalasi konflik Israel-Hamas, belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kasus ini. Insiden ini bukanlah kasus tunggal. Mahmoud Khalil, mantan mahasiswa Columbia keturunan Palestina, ditangkap dan kehilangan kartu hijaunya, sementara Leqaa Kordia, mahasiswa lain yang terlibat dalam demonstrasi serupa, ditahan setelah visa-nya habis masa berlaku. Kasus-kasus ini menggambarkan meningkatnya pengawasan dan pengetatan kebijakan imigrasi AS terhadap individu yang dianggap terlibat dalam aktivitas politik yang dianggap berpotensi mengancam keamanan nasional.
Serangkaian tindakan keras ini mengindikasikan perubahan signifikan dalam kebijakan imigrasi AS. Mahasiswa asing yang aktif dalam aksi politik, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu internasional yang sensitif seperti konflik Israel-Palestina, kini menghadapi risiko tinggi pencabutan visa atau deportasi. Ketidakjelasan mengenai kriteria dan bukti yang digunakan dalam menentukan keterlibatan dalam 'kekerasan dan terorisme' menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan nasional diinterpretasikan dan diterapkan pada komunitas mahasiswa internasional di AS. Perlu adanya transparansi dan mekanisme yang lebih jelas untuk melindungi hak-hak mahasiswa asing sambil menjaga keamanan nasional.
Lebih lanjut, kasus ini juga memperlihatkan kompleksitas dalam menavigasi sistem imigrasi AS, khususnya bagi mahasiswa internasional yang mungkin kurang memahami implikasi politik dari partisipasi mereka dalam demonstrasi. Kurangnya informasi dan dukungan yang memadai dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap tindakan keras seperti ini. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan akses terhadap informasi hukum dan dukungan advokasi bagi mahasiswa internasional agar mereka dapat memahami hak dan kewajiban mereka di AS.
Kesimpulannya, kasus Srinivasan bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan sebuah refleksi dari kebijakan imigrasi AS yang semakin ketat dan dampaknya terhadap mahasiswa internasional yang aktif dalam kegiatan politik. Kejelasan, transparansi, dan perlindungan hak-hak mahasiswa asing sangat penting dalam menghadapi situasi seperti ini. Peristiwa ini juga menuntut percakapan yang lebih luas mengenai keseimbangan antara kebebasan berekspresi, keamanan nasional, dan hak-hak mahasiswa internasional di Amerika Serikat.