FINI Tolak Kenaikan Royalti Nikel: Ancaman Bagi Pertumbuhan Industri dan Lapangan Kerja
FINI Tolak Kenaikan Royalti Nikel: Ancaman Bagi Pertumbuhan Industri dan Lapangan Kerja
Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) secara tegas menolak usulan kenaikan royalti nikel yang diajukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penolakan ini disampaikan menyusul konsultasi publik terkait penyesuaian jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba yang digelar pada awal Maret 2025. FINI berargumen bahwa kenaikan royalti, khususnya dalam bentuk tarif progresif untuk bijih nikel dan nikel matte, akan berdampak negatif signifikan terhadap industri pertambangan dan pengolahan nikel nasional di tengah iklim ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Ketua Umum FINI, Alexander Barus, dalam keterangan persnya, menekankan bahwa kondisi ekonomi global saat ini tengah tertekan akibat berbagai faktor, termasuk perang berkepanjangan, perang dagang, dan melemahnya permintaan nikel dunia. Ia menyebut peningkatan penggunaan produk substitusi seperti Lithium Ferro-Phosphate turut menekan harga nikel ke level terendah sejak 2020. Penurunan permintaan dari China, sebagai pasar utama baja dunia, semakin memperparah situasi. Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat, yang berdampak pada tarif perdagangan, juga dinilai akan menghambat pertumbuhan industri kendaraan listrik, sektor yang selama ini menjadi penggerak utama permintaan nikel.
Selain tantangan global, FINI juga menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah dalam negeri yang turut meningkatkan biaya operasional industri nikel. Beberapa kebijakan yang disebut FINI sebagai beban tambahan bagi pelaku usaha meliputi:
- Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)
- Penggunaan Biodiesel 40 yang lebih mahal
- Kewajiban retensi devisa hasil ekspor (DHE)
- Keterbatasan pasokan bijih nikel
FINI mengakui kontribusi positif kebijakan hilirisasi pemerintah terhadap perekonomian Indonesia. Program tersebut telah menciptakan sekitar 350.000 lapangan kerja dan membantu mengurangi kesenjangan ekonomi, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Namun, penerapan kebijakan pajak global minimum (Global Minimum Tax) yang menghapus insentif seperti tax holiday dinilai akan mempersempit arus kas industri nikel, meningkatkan risiko penurunan kapasitas pembayaran pinjaman, dan berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Alexander Barus juga menyoroti konsistensi sektor mineral dan batu bara dalam memberikan kontribusi signifikan terhadap PNBP negara. Realisasi PNBP dari sektor ini secara konsisten melampaui target dalam beberapa tahun terakhir, mencapai 110,25 persen pada 2020, 193,03 persen pada 2021, 180,91 persen pada 2022, 118,41 persen pada 2023, dan 125,84 persen pada 2024. Berdasarkan data tersebut, FINI berpendapat bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan tarif royalti, terutama untuk nikel dan produk turunannya.
Meskipun menolak kenaikan royalti, FINI menyatakan kesiapannya untuk berdialog dengan pemerintah guna mencari solusi yang memungkinkan program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel dapat berlanjut secara berkelanjutan. Senada dengan FINI, Indonesia Mining Association (IMA) juga sebelumnya telah mengusulkan penundaan kenaikan royalti minerba, dengan alasan akan berdampak negatif terhadap iklim investasi dan daya saing industri di tengah upaya hilirisasi, serta beban tambahan bagi perusahaan yang tengah berinvestasi besar dalam pembangunan smelter.
Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan penyusunan draf peraturan pemerintah (PP) yang mengatur kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara. Pelaku usaha menilai penerbitan aturan tersebut di tengah kondisi ekonomi global yang menantang dan harga komoditas yang sedang jatuh akan semakin memperberat industri nikel nasional.