Revisi UU TNI: Ancaman Serius terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi di Indonesia
Revisi UU TNI: Ancaman Serius terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi di Indonesia
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah digodok pemerintah dan DPR menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Bukan sekadar revisi administratif, perubahan ini berpotensi menjadi kudeta konstitusional, sebuah manipulasi hukum untuk melemahkan supremasi sipil dan memperkuat pengaruh militer dalam pemerintahan. Hal ini mengingatkan kita pada teori abusive constitutionalism, di mana konstitusi dan hukum digunakan untuk merusak, bukan memperkuat, demokrasi.
Perubahan UU TNI ini menghapus batas tegas antara sipil dan militer. Pasal-pasal yang direvisi membuka peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki posisi penting di berbagai lembaga negara, termasuk Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Implikasinya sangat berbahaya. Bagaimana mungkin seorang perwira aktif yang terikat pada rantai komando militer dapat menjalankan tugasnya secara independen dan objektif di lembaga-lembaga penegak hukum dan pemerintahan sipil? Inilah bentuk penyusupan struktural yang secara sistematis akan mengikis independensi lembaga-lembaga tersebut dan melemahkan supremasi hukum.
Lebih jauh lagi, revisi ini berpotensi memperpanjang masa jabatan Panglima TNI, memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden dalam mengendalikan institusi militer. Hal ini menciptakan sistem patronase dan loyalitas yang berpotensi mengarah pada militerisasi politik, di mana loyalitas lebih diprioritaskan kepada penguasa eksekutif daripada kepada konstitusi dan negara. Ini merupakan langkah mundur yang signifikan dari prinsip-prinsip Reformasi 1998 yang bertujuan untuk membatasi peran militer dalam politik.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh rekam jejak militer Indonesia. Sejarah mencatat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat militer, mulai dari peristiwa 1965-1966 hingga berbagai kasus kekerasan di Papua dan Aceh. Hingga saat ini, banyak kasus pelanggaran HAM berat tersebut belum mendapatkan penyelesaian yang adil, menunjukkan impunitas yang dinikmati oleh militer. Dengan adanya revisi UU TNI ini, dikhawatirkan impunitas tersebut akan semakin terpelihara, bahkan diperkuat. Jika militer memiliki kendali atas sistem hukum, siapa yang akan mengadili mereka?
Revisi UU TNI juga memberikan militer peran yang lebih besar dalam keamanan domestik, khususnya dalam penanganan ancaman siber dan narkoba. Alasan ini, yang juga digunakan di negara-negara lain yang mengalami militerisasi, sangat rentan disalahgunakan. Pengalaman negara-negara seperti Filipina dan Meksiko menunjukkan bagaimana pemberian kewenangan yang luas kepada militer dalam menangani masalah keamanan domestik dapat berujung pada peningkatan pelanggaran HAM dan kekerasan.
Tidak hanya itu, revisi UU TNI juga berpotensi meningkatkan korupsi. TNI selama ini telah lama dikaitkan dengan berbagai kasus korupsi, termasuk bisnis gelap, kepemilikan lahan ilegal, dan monopoli proyek-proyek negara. Dengan kontrol yang lebih besar atas sumber daya negara, revisi ini dikhawatirkan akan semakin membuka peluang bagi praktik korupsi yang semakin meluas dan sulit diusut. Transparansi dan akuntabilitas akan semakin terancam.
Kesimpulannya, revisi UU TNI ini merupakan ancaman serius terhadap supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Jika revisi ini disahkan, dikhawatirkan akan terjadi kemunduran demokrasi secara signifikan dan Indonesia akan kembali pada model kekuasaan yang otoriter. Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan secara serius dampak jangka panjang dari revisi ini dan memastikan bahwa revisi tersebut tidak mengarah pada militerisasi negara dan pengikisannya demokrasi.
Daftar Poin Penting yang Direvisi:
- Penempatan perwira aktif TNI di lembaga sipil.
- Perpanjangan masa jabatan Panglima TNI.
- Pengembangan peran TNI dalam keamanan domestik.