Harmoni Budaya dan Toleransi: Persiapan Perayaan Ogoh-ogoh di Banyuwangi 'Bali Kecil'

Harmoni Budaya dan Toleransi: Persiapan Perayaan Ogoh-ogoh di Banyuwangi 'Bali Kecil'

Di Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur, suasana desa yang asri dan tenang seakan membawa pengunjung ke pedesaan Bali. Julukan “Bali Kecil” yang disematkan pada desa ini memang pantas, terlihat dari arsitektur bangunan hingga nuansa kehidupan sehari-hari yang begitu kental dengan budaya Bali. Jelang perayaan Nyepi, tepatnya pada Jumat (28/3/2025) pukul 18.00 WIB, suasana desa ini semakin semarak dengan persiapan perayaan Ogoh-ogoh, sebuah tradisi unik yang menjadi bagian integral dari perayaan Hari Raya Nyepi. Para pemuda dan warga desa tampak sibuk menyelesaikan detail pembuatan patung-patung raksasa yang menakjubkan.

Tujuh ogoh-ogoh akan memeriahkan perayaan tahun ini; tiga buah dikerjakan oleh pemuda desa, dan empat lainnya merupakan hasil kolaborasi dengan masyarakat. Putu Ota, demisioner Ketua Pemuda Patoman Tengah, menjelaskan bahwa tema yang diangkat tahun ini adalah Narakasura, sebuah figur mitologi Hindu yang merupakan raja Pragjyotisha (sekarang Assam, India Timur). Narakasura digambarkan sebagai sosok yang lahir dari dewa-dewi namun memiliki sifat angkuh, kejam, dan memiliki 16.108 istri. Pemilihan tema ini bukan tanpa makna. Putu menjelaskan, “Yang kita ambil filosofinya, dia anak dewa-dewi tapi kenapa dia memiliki sifat yang angkuh, kejam, dan jahat. Filosofinya di kehidupan kita, orang yang lahir dari kehidupan yang baik belum tentu baik.” Lebih jauh, perayaan ini juga ingin menekankan pesan penting tentang kebijaksanaan dalam memegang kepercayaan dan kekuasaan. Menariknya, pembuatan ogoh-ogoh ini memanfaatkan bahan-bahan sederhana dan mudah ditemukan di sekitar desa, seperti besi, bambu, dan koran, mencerminkan semangat swadaya dan kearifan lokal.

Keunikan Dusun Patoman Tengah tidak hanya terletak pada perayaan ogoh-ogohnya yang meriah, tetapi juga pada keharmonisan sosial yang terjalin di tengah keberagaman. Desa ini dikenal sebagai “Kampung Pancasila”, yang mencerminkan toleransi antarumat beragama dan suku yang luar biasa. Made Hardana, Kepala Dusun Patoman Tengah, dengan bangga menceritakan kehidupan berdampingan yang rukun antara warga Suku Madura, Jawa, serta pemeluk agama Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha. Suasana kekeluargaan yang erat begitu terasa, terutama saat persiapan perayaan ogoh-ogoh. Anak-anak dari berbagai latar belakang bermain bersama tanpa memandang perbedaan suku dan agama, menunjukkan betapa toleransi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat desa ini. Tradisi harmonis ini, menurut Made, telah terwariskan selama 5-7 generasi, menunjukkan keberhasilan dalam merawat persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman.

Lebih dari itu, kebersamaan dan saling membantu antarumat beragama juga terlihat jelas dalam berbagai kegiatan, termasuk saat bulan Ramadhan, di mana warga saling berbagi takjil dan saling membantu dalam berbagai momen lainnya. Kolaborasi dan koordinasi antarwarga dalam berbagai aspek kehidupan menjadi kunci utama terwujudnya harmoni yang luar biasa ini. Keberhasilan Dusun Patoman Tengah dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama dan melestarikan tradisi budaya Bali di tengah masyarakat Jawa Timur menjadi teladan yang menginspirasi bagi daerah lain di Indonesia. Semoga semangat persatuan, toleransi, dan kebersamaan ini tetap terjaga dan semakin kokoh di masa mendatang, menjadi warisan berharga bagi generasi penerus.