Fenomena Kucing 'Tos' di Kuil Xiyuan: Antara Keberuntungan dan Kekhawatiran Kesejahteraan Hewan

Fenomena Kucing 'Tos' di Kuil Xiyuan: Antara Keberuntungan dan Kekhawatiran Kesejahteraan Hewan

Sebuah fenomena unik tengah menjadi sorotan di Tiongkok. Seekor kucing belang abu-abu putih di Kuil Xiyuan, telah menarik perhatian ribuan pengunjung yang rela mengantre demi kesempatan untuk bersalaman, atau lebih tepatnya, 'tos', dengannya. Kepopuleran kucing ini tak lepas dari kepercayaan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai simbol keberuntungan dan kemakmuran. Video-video kucing yang dengan tenang duduk di langkan batu, menunggu giliran pengunjung untuk bersalaman, telah viral di media sosial, menarik perhatian baik domestik maupun internasional. Keunikan ini telah mengubah rutinitas harian kuil yang sudah dikenal sebagai tempat di mana kucing liar berkeliaran bebas.

Tradisi dan kepercayaan masyarakat Tiongkok menempatkan kucing sebagai lambang keberuntungan dan kemakmuran. Gambaran kucing dengan kaki terangkat, seringkali dijumpai sebagai hiasan di toko-toko, melambangkan daya tarik kekayaan. Kuil Xiyuan, dengan biaya masuk lima yuan (sekitar Rp 11.000), kini semakin ramai dikunjungi, tak hanya karena keindahan arsitekturnya, melainkan juga karena kehadiran kucing tos yang fenomenal ini. Kucing yang diperkirakan berusia empat tahun ini dirawat oleh seorang pria bernama Liu, yang awalnya hanya membawa kucing tersebut untuk berjemur di halaman kuil setiap akhir pekan. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas kucing tersebut, Liu mulai melakukan siaran langsung di media sosial untuk merespon antusiasme para pengunjung.

Popularitas kucing tos ini memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, fenomena ini memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, meningkatkan kunjungan wisata dan pendapatan Kuil Xiyuan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran akan kesejahteraan kucing tersebut. Pada awal Maret 2025, beberapa pengguna internet melaporkan melihat kucing tersebut tampak lelah dan kurang antusias berinteraksi dengan pengunjung. Tuduhan mengeksploitasi kucing untuk keuntungan finansial pun muncul ditujukan kepada Liu. Liu sendiri membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa ia tidak mengeksploitasi kucing kesayangannya untuk meraih ketenaran di internet. Perdebatan ini pun menyoroti dilema antara memanfaatkan popularitas untuk keuntungan ekonomi dan menjaga kesejahteraan hewan.

Kejadian ini menjadi sorotan penting tentang bagaimana fenomena viral di media sosial dapat berdampak signifikan, baik positif maupun negatif. Peristiwa ini juga menimbulkan pertanyaan etis tentang pemanfaatan hewan dalam konteks pariwisata dan media sosial. Bagaimana keseimbangan antara memanfaatkan popularitas dan melindungi kesejahteraan hewan dapat dicapai, menjadi perdebatan yang perlu mendapat perhatian serius. Ke depan, diperlukan regulasi yang lebih jelas dan kesadaran masyarakat yang lebih tinggi untuk mencegah eksploitasi hewan dan memastikan kesejahteraan mereka tetap terjaga. Pengalaman dengan kucing tos di Kuil Xiyuan ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengelola wisata dan para pengguna media sosial untuk lebih bijak dalam berinteraksi dengan hewan dan memanfaatkan popularitas mereka.