Gelombang Penolakan Publik terhadap Revisi UU TNI: Kekhawatiran Dwifungsi Militer dan Transparansi
TolakRUUTNI: Desakan Transparansi dan Penolakan Dwifungsi Militer Menggema di Ruang Publik
Tagar #TolakRUUTNI mendominasi perbincangan di media sosial, khususnya di platform X, dalam beberapa hari terakhir. Trending topic tersebut mencerminkan gelombang penolakan yang signifikan dari publik terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah. Ribuan unggahan di platform X menunjukan keprihatinan mendalam akan potensi kembalinya dwifungsi TNI, sebuah isu sensitif yang telah memicu kontroversi luas di tengah masyarakat.
Kekhawatiran utama publik tertuju pada potensi revisi UU TNI yang dapat membuka jalan bagi keterlibatan TNI dalam urusan sipil, termasuk politik dan pemerintahan. Konsep dwifungsi militer, yang telah ditinggalkan sejak era reformasi 1998, dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Perdebatan ini semakin memanas menyusul terungkapnya rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI bersama pemerintah yang digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. Ketidaktransparanan proses pembahasan RUU ini telah memicu kecaman keras dari berbagai kalangan.
Sejumlah aksi protes telah dilakukan, salah satunya berupa penggerudukan ruang rapat oleh Koalisi Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menuntut agar pembahasan RUU TNI dilakukan secara terbuka dan partisipatif, serta menolak keras potensi kebangkitan dwifungsi militer. Menariknya, aksi protes ini telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh pihak keamanan hotel. Laporan tersebut semakin memperkeruh suasana dan menambah sorotan publik terhadap kontroversi yang tengah terjadi.
Sentimen negatif di media sosial semakin kuat dengan munculnya petisi daring yang menyerukan penolakan terhadap RUU TNI. Petisi tersebut telah mengumpulkan ribuan tanda tangan dalam waktu singkat, menunjukkan tingginya dukungan publik terhadap gerakan #TolakRUUTNI. Berbagai komentar di media sosial mengecam potensi pelanggaran HAM dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi jika RUU TNI disahkan tanpa revisi yang signifikan. Beberapa netizen bahkan menyoroti penggunaan anggaran negara yang dianggap tidak efisien dengan menggelar rapat di hotel mewah.
Kritik juga diarahkan kepada kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU TNI. Ketidakhadiran perwakilan masyarakat sipil dalam rapat-rapat tersebut telah memicu kecurigaan dan kekhawatiran akan adanya upaya untuk meloloskan pasal-pasal kontroversial secara diam-diam. Sejumlah akun media sosial aktif menggalang dukungan dan menyebarkan informasi terkait RUU TNI, berusaha melawan narasi yang mendukung dwifungsi militer. Perdebatan ini menyoroti pentingnya keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses legislasi, khususnya terkait isu-isu sensitif yang berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Ke depan, dibutuhkan dialog yang lebih intensif antara DPR, pemerintah, dan publik untuk memastikan revisi UU TNI tidak mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Beberapa poin penting yang diangkat oleh warganet antara lain:
- Potensi kembalinya dwifungsi militer.
- Proses pembahasan RUU yang tertutup dan tidak transparan.
- Penggunaan anggaran negara yang tidak efisien.
- Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.
- Potensi pelanggaran HAM.