Ancaman dan Peluang Kecerdasan Buatan: Mengatasi Kesenjangan Gender di Era Digital
Ancaman dan Peluang Kecerdasan Buatan: Mengatasi Kesenjangan Gender di Era Digital
Perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI) menghadirkan dilema: di satu sisi menawarkan potensi besar untuk kemajuan, di sisi lain menyimpan risiko memperparah kesenjangan sosial, khususnya kesenjangan gender. Hal ini diungkapkan oleh Country Representative and Liaison to ASEAN UN Women, Ulziisuren Jamsran, dalam sebuah webinar. Beliau menyoroti fakta bahwa meskipun konektivitas internet meningkat, hanya 20 persen perempuan di negara berkembang yang memiliki akses online, sebuah angka yang mengkhawatirkan dan menjadi akar permasalahan utama. Kesenjangan akses ini diperparah oleh potensi penyalahgunaan AI yang dapat memperkuat bias sosial yang sudah ada. Sistem pengenalan wajah dan suara, misalnya, seringkali keliru mengklasifikasikan perempuan, menunjukkan betapa teknologi yang seharusnya netral justru dapat memperkuat diskriminasi.
Lebih lanjut, Ulziisuren menekankan bahwa AI dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menjadi alat penyebaran misinformasi dan bahkan meningkatkan kekerasan berbasis gender. Dampaknya, kohesi sosial dan keamanan masyarakat terancam. Namun, di tengah tantangan ini, potensi AI untuk memberdayakan perempuan dan mendorong kesetaraan gender tetap besar. UN Women berkomitmen untuk mendorong pengembangan sistem AI yang responsif terhadap gender, melakukan riset mendalam terkait dampak AI terhadap bias gender, dan mempelajari cara memanfaatkan teknologi ini untuk memberdayakan perempuan, terutama dalam menjaga perdamaian dan keamanan regional. Kolaborasi global, menurut Ulziisuren, mutlak diperlukan untuk menjadikan tata kelola AI yang etis sebagai norma baru. Ia menyerukan langkah konkrit untuk memastikan AI tidak hanya canggih, tetapi juga inklusif, aman, dan dapat dipercaya.
Senada dengan hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk mendorong partisipasi perempuan dalam ekosistem AI. Rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengembangan dan kepemimpinan AI saat ini menjadi perhatian serius. Pemerintah menyadari bahwa AI berpotensi mereproduksi bias sosial yang sudah ada, sehingga perlu dipastikan agar teknologi ini tidak memperkuat ketidaksetaraan. Untuk mencapai hal ini, kerjasama dengan akademisi, industri, dan organisasi internasional akan diperkuat untuk memastikan perempuan mendapatkan akses dan peluang yang setara di industri AI. Selain itu, dampak otomatisasi yang didorong AI terhadap pekerjaan yang didominasi perempuan juga menjadi sorotan. Jika tidak dikelola dengan baik, otomatisasi berisiko memperlebar kesenjangan digital antara laki-laki dan perempuan.
Pemerintah, lanjut Meutya, telah dan akan terus menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung transformasi digital yang beretika dan inklusif. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain pengesahan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, penerbitan Surat Edaran Etika AI yang menekankan transparansi, inklusifitas, dan non-diskriminasi, serta pengembangan infrastruktur digital dan literasi AI, termasuk program literasi digital yang menjangkau jutaan masyarakat, dengan fokus khusus pada perempuan dan kelompok rentan. Tujuannya adalah untuk memastikan setiap warga negara, termasuk perempuan, memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan teknologi dan tidak tertinggal di era otomatisasi.
Kesimpulannya, tantangan yang ditimbulkan oleh AI terhadap kesetaraan gender memerlukan pendekatan holistik dan kolaboratif. Komitmen dari berbagai pihak, mulai dari organisasi internasional, pemerintah, industri, hingga individu, sangat krusial untuk memastikan pengembangan dan penggunaan AI yang beretika, inklusif, dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya perempuan.