Polemik Revisi UU TNI dan Bayang-Bayang Dwifungsi ABRI: Ancaman bagi Demokrasi?
Polemik Revisi UU TNI dan Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang TNI, Polri, dan Kejaksaan yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memicu kontroversi dan kekhawatiran luas di tengah masyarakat. Sorotan tajam tertuju pada potensi kebangkitan dwifungsi ABRI, sebuah praktik yang telah meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Indonesia. Kelompok sipil, yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, telah secara vokal menyuarakan penolakan terhadap pembahasan RUU tersebut, khususnya atas dugaan upaya mengembalikan peran militer dalam politik. Aksi protes yang dilakukan di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat, menekankan tuntutan penghentian pembahasan RUU yang dinilai dilakukan secara tertutup dan berpotensi mengancam fondasi demokrasi.
Salah satu poin penting yang dipertanyakan adalah pasal-pasal dalam RUU yang memungkinkan penempatan personel militer aktif di berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan. Para pakar hukum tata negara melihat hal ini sebagai kemiripan yang mengkhawatirkan dengan praktik dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya, Titik Triwulan Tutik, mengungkapkan keprihatinan bahwa RUU ini bukannya memperkuat pengawasan, melainkan justru memperluas kewenangan institusi keamanan, yang berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Jambi, Muhammad Eriton, yang menjelaskan secara rinci tentang konsep dwifungsi ABRI dan konsekuensi negatifnya. Eriton menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan militer dan sipil, agar tidak terjadi dominasi salah satu pihak dan memicu konflik internal yang mengancam ketahanan nasional.
Dwifungsi ABRI: Sejarah Kelam dan Ancaman Masa Depan
Dwifungsi ABRI, yang pertama kali dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution dan kemudian dilegalkan melalui Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969, menempatkan ABRI sebagai kekuatan pertahanan keamanan sekaligus sebagai aktor dalam politik dan kehidupan sosial. Meskipun tujuannya diklaim untuk mewujudkan stabilitas nasional, praktik ini justru menghasilkan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, dan pembatasan kebebasan sipil. Era reformasi 1998 menandai berakhirnya dwifungsi ABRI, ditandai dengan pemisahan Polri dari ABRI dan perubahan nama menjadi TNI. Keputusan Presiden B.J. Habibie untuk melakukan reformasi ABRI dianggap sebagai langkah krusial dalam memperkuat demokrasi dan menegakkan supremasi sipil.
Direktur Eksekutif Amnesty Universitas Negeri Semarang (Unnes), Raihan Muhammad, menyatakan dengan tegas bahwa upaya mengembalikan dwifungsi ABRI merupakan langkah mundur yang berbahaya. Ia memperingatkan potensi campur tangan militer dalam urusan sipil, yang akan mengancam demokrasi dan mengulang kembali praktik-praktik otoriter masa lalu. Raihan menekankan pentingnya fokus pada reformasi internal TNI untuk meningkatkan profesionalisme dan efektivitas militer, bukan terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan sipil. Ia juga menyerukan agar seluruh elemen masyarakat tetap waspada dan lantang menyuarakan penolakan terhadap upaya yang berpotensi membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme. Tuntutan untuk menjaga semangat reformasi 1998 dan menghindarkan negara dari ancaman kembalinya dwifungsi ABRI menjadi sorotan utama dalam perdebatan ini.
Kesimpulan:
Perdebatan seputar revisi UU TNI dan potensi kebangkitan dwifungsi ABRI menyoroti pentingnya kewaspadaan dan pemahaman mendalam atas sejarah. Upaya untuk menjaga demokrasi dan supremasi sipil harus terus diperjuangkan agar Indonesia tidak kembali ke masa lalu yang kelam. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi menjadi kunci untuk mencegah pengulangan kesalahan masa lalu dan memastikan bahwa TNI tetap fokus pada tugas pokoknya, yaitu menjaga kedaulatan negara.