Revisi UU TNI: Antara Modernisasi, Peran Tambahan, dan Potensi Kembalinya Dwifungsi

Revisi UU TNI: Antara Modernisasi, Peran Tambahan, dan Potensi Kembalinya Dwifungsi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini mencakup tiga pasal krusial: Pasal 7 (tugas pokok TNI), Pasal 47 (penempatan anggota TNI di jabatan sipil), dan Pasal 53 (usia pensiun). Perubahan yang diajukan pemerintah memicu perdebatan sengit, khususnya terkait perluasan peran TNI dan implikasinya terhadap relasi sipil-militer di Indonesia.

Perubahan pada Pasal 7 menambahkan tiga tugas pokok TNI, yaitu membantu pemerintah dalam menangani ancaman siber, penyalahgunaan narkoba, dan melindungi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Sementara revisi Pasal 47 memperluas penempatan anggota TNI di jabatan sipil dari 10 menjadi 16 lembaga, termasuk Kejaksaan Agung, Badan Keamanan Laut, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Penambahan ini didasarkan pada argumen keterkaitan fungsi TNI dengan lembaga-lembaga tersebut. Revisi Pasal 53, yang mengatur usia pensiun, mengusulkan perpanjangan masa dinas bagi prajurit, dengan usia pensiun bervariasi berdasarkan pangkat.

Kekhawatiran Munculnya Dwifungsi ABRI

Namun, perluasan peran TNI dalam revisi Pasal 7 dan Pasal 47 telah menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI, sebuah praktik yang pernah mewarnai sejarah Indonesia dan meninggalkan trauma mendalam. Pengalaman masa Orde Lama dan Orde Baru menunjukkan bagaimana keterlibatan militer yang berlebihan dalam politik dan sektor sipil telah mengakibatkan otoritarianisme, pelanggaran HAM, dan melemahnya supremasi sipil. Dwifungsi ABRI telah menjadi akar berbagai permasalahan, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang berujung pada krisis moneter dan politik 1998.

Banyak kalangan menilai bahwa revisi UU TNI ini berpotensi membuka celah bagi militer untuk kembali mendominasi ruang publik. Kehadiran militer dalam lembaga-lembaga sipil, meskipun dengan dalih membantu pemerintah, dikhawatirkan akan mengikis kontrol sipil atas militer, yang merupakan pilar penting dalam negara demokrasi. Sejarah telah mengajarkan bahwa ketika militer terlalu terlibat dalam politik, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penindasan hak-hak sipil akan semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan pertimbangan matang dalam merumuskan revisi UU TNI ini.

Relasi Sipil-Militer: Upaya Menjaga Keseimbangan

Pasca-Reformasi, upaya membangun relasi sipil-militer yang sehat dan seimbang menjadi krusial. Supremasi sipil harus dijaga agar militer tetap berada di bawah kontrol sipil. Namun, tantangan tetap ada. Di satu sisi, pemerintah harus memastikan TNI memiliki kemampuan dan peralatan yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Di sisi lain, perlu dihindari politisasi TNI dan keterlibatan yang berlebihan dalam urusan sipil. Pemerintah juga harus memastikan kesejahteraan prajurit terpenuhi untuk menghindari potensi munculnya ketidakpuasan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Revisi UU TNI ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen terhadap reformasi militer. Profesionalisme TNI, modernisasi peralatan, dan kesejahteraan prajurit harus menjadi prioritas. Namun, tak kalah pentingnya adalah menjaga supremasi sipil dan memastikan TNI tetap menjalankan perannya sebagai penjaga kedaulatan negara, bukan sebagai aktor politik.

Membangun relasi sipil-militer yang harmonis dan produktif membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, dan TNI sendiri. Hanya dengan demikian, potensi konflik dan kembalinya praktik-praktik otoriter dapat dicegah, dan Indonesia dapat terus membangun demokrasi yang kokoh dan berkelanjutan.